Sebagai negara yang menggantungkan perputaran ekonomi pada sektor pariwisata, Indonesia merasakan betul bagaimana hantaman COVID-19 yang melanda sejak awal 2020 ini. Nyatanya, pandemi ini tidak hanya menjadi masalah kesehatan, tetapi juga membuat roda ekonomi melambat, daya beli menurun, hingga menyebabkan banyak orang kehilangan mata pencaharian.
“Sektor pariwisata menjadi yang paling terdampak,” begitu tutur Dr. Hari Santosa Sungkari, Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf/ Baparekraf dalam webinar “Reinventing Indonesia’s Tourism Industry” pada Kamis (19/11).
Menurut Dr. Hari, sertifikasi sangat diperlukan untuk memberi jaminan dan kepercayaan baru bagi turis yang berwisata di masa new normal. “Nanti setelah mendapatkan sertifikasi, gunakan itu sebagai branding, kalau tempat ini sudah terjamin,” lanjutnya.
Selain mengundang pihak dari Kemenparekraf/Baparekraf, webinar ini juga menghadirkan dua narasumber lainnya, yakni Rektor Universitas Prasetiya Mulya Prof. Djisman Simandjuntak dan CEO Touress Global DMC Ibu Astuti D. J. Hadir pula Mentor MM-NVI Prasetiya Mulya Bapak Hari Tjahjono, MBA yang menjadi moderator dalam webinar kali ini.
Pariwisata Tak Boleh Mati
Dalam kesempatannya, Prof. Djisman menerangkan bahwa pariwisata adalah bagian dari leisure alias waktu luang. Secara matematis, leisure adalah 24 jam dikurangi dengan waktu tidur dan waktu kerja. “Waktu untuk leisure ini menjadi semakin meningkat seiring dengan komputerisasi dan mekanisasi teknologi yang memangkas waktu kerja,” sebut Prof. Djisman.
Lebih lanjut, Prof. Djisman mengajak seluruh stakeholder untuk fokus pada manajemen risiko serta peningkatan mutu layanan dan higienitas. “Yang bisa kita lakukan sekarang ini adalah menaikkan kelayakan dari industri pariwisata yang sudah ada. Fokus pada manajemen risiko,” imbuhnya.
Hal senada diungkapkan Ibu Astuti. Menurutnya, pandemi telah membuat orang semakin terbiasa untuk bekerja dari mana saja, termasuk dari tempat wisata. Dengan demikian, waktu leisure semakin meningkat. Oleh karena itu, industri pariwisata tidak seharusnya mati, tetapi justru harus dioptimalisasi, di-reinventing, dan dipulihkan.
Pada dasarnya, membantu agen perjalanan wisata mengelola bisnisnya dan menghubungkan mereka dengan jejaring mitra Touress yang tersebar di berbagai negara memang sudah merupakan komitmen perusahaan yang dipimpin Ibu Astuti. Kendati demikian, pada masa-masa seperti ini, Touress semakin terpacu untuk membantu lebih banyak unit usaha agar dapat bertahan dan berkembang.
Hingga saat ini, Touress sudah membentangkan sayap di sejumlah belahan dunia, seperti Timur Tengah, Eropa, Asia Tenggara, Rusia, hingga The Commonwealth of Independent States (CIS). Bahkan, dalam waktu dekat, Touress juga akan terkoneksi dengan Asia Timur, Australia, dan Selandia Baru.
“Saat ini, travelling is not just visit the site,” ungkap Astuti, “Turis mengunjungi suatu tempat itu karena mereka ada interest dan needs untuk berkumpul dengan komunitasnya,” sambungnya.
Ia mengingatkan seluruh stakeholder industri pariwisata di Indonesia untuk mampu terus berinovasi dan menggali potensi-potensi yang ada dari pariwisata Indonesia selama “masa rehat” ini.
Memulihkan Industri Pariwisata
Sebagai wujud kontribusi membantu industri pariwisata menerapkan cara baru pengelolaan bisnis pariwisata yang berbasis teknologi, Universitas Prasetiya Mulya dan Touress meluncurkan Touress-Prasetiya Mulya Tourism Startup Program. Inisiasi ini diharapkan mampu menggenjot kembali sektor pariwisata di Indonesia.
Dalam kesempatan ini, Ibu Astuti juga memberikan empat strategi yang dapat membantu pemulihan industri pariwisata di tengah new normal. Berikut adalah empat strategi yang dijelaskan Ibu Astuti.
1. Maksimalisasi teknologi digital
“Teknologi adalah senjata yang saat ini paling kita perlukan dalam memulihkan industri pariwisata,” ungkap Astuti.
Pelaku industri pariwisata harus memaksimalkan penggunaan teknologi, terutama untuk merampingkan proses administrasi yang rumit. Selain itu, teknologi juga dapat membantu dalam bidang digital marketing dan digital payment yang menjadi semakin populer semenjak pandemi.
2. Lakukan focus marketing
Cara-cara untuk memasarkan pariwisata harus diperbaharui. Meninjau kembali demografi dari target pasar adalah hal yang wajib dilakukan. Setelah itu, lakukan pemasaran berdasarkan ketertarikan pasar. Pemasaran yang terfokus menjadi solusi yang paling nyata saat ini.
“Do not use ‘machine guns’ to target your customers, use ‘snipers’,” sebutnya.
3. Kembangkan SDM
Pelaku industri harus memanfaatkan momentum ini untuk mengembangkan sumber daya manusia. Mereka dapat melakukan coaching dan leading team untuk mendukung produk pariwisata yang punya nilai tambah berupa cultural dan biodiversity. Selain itu, menyadarkan SDM akan pentingnya higienitas dan kebersihan lingkungan juga harus diprioritaskan.
4. Partisipasi aktif dari semua pihak
“Terus terang, saat ini kesulitan yang sering dihadapi adalah mindset bahwa pariwisata itu tidak aman,” ungkap Astuti.
Hal ini yang harus diubah. Untuk itu, perlu dukungan dari banyak pihak agar pemulihan industri pariwisata dapat terlaksana, baik melalui kampanye new normal, iklan pariwisata yang aman, dan sebagainya.
Add comment