Sebagai negara yang kuat akan identitas keragamannya, Indonesia sering dirundung tantangan perpecahan. Meski hadir Pancasila sebagai dasar negara dan pemersatu bangsa, deraan isu disintegrasi belum juga terselesaikan sejak puluhan tahun lalu hingga saat ini.
Berangkat dari kerinduan dan kecintaan pada Indonesia yang harmoni, Mahasiswa Prasetiya Mulya melalui Teater Sanskerta 2017 hadir membawakan lakon pentas bertajuk ‘Deja Vu: Mahalnya Persatuan’ pada Sabtu, 17 Juni 2017. Ibarat memasuki mesin waktu, Sanskerta mencoba mengajak seluruh pengunjung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki untuk kembali mengingat duka dalam perang lintas zaman yaitu Perang Bubat di era Majapahit dan Perang Lima Hari Lima Malam di Palembang.
Melalui peperangan tersebut, Paulus Simangunsong selaku Sutradara ingin menyiratkan pesan moral akan indahnya persatuan. “Dalam pementasan Deja Vu, kami ingin mengajak penonton berpikir untuk tak lagi mengulang sejarah yang ada dan tak lagi mengulang penderitaan yang ada. Semoga lewat Deja Vu, kita mampu bercermin dan mampu menghadirkan cinta di atas perbedaan untuk Indonesia yang lebih utuh” sambut beliau.
Kisah 3 zaman
Alur yang ditampilkan dalam teater ini bergerak maju mundur dan mengangkat 3 latar, yaitu kisah Perang Bubat antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Pajajaran serta Pertempuran Lima Hari Lima Malam Palembang, antara rakyat Indonesia dengan Penjajah Belanda.
Dalam perang Bubat, Hadir kisah cinta antara Hayam Wuruk,Raja dari Majapahit, yang ingin mempersunting putri cantik bernama Dyah Pitaloka dari Kerajaan Pajajaran. Ketulusan cinta Hayam Wuruk ternoda dengan ambisi berlebih Mahapatih Gajah Mada selaku panglima perang Majapahit untuk menaklukan Pajajaran. Kedatangan Rombongan Kerajaan Pajajaran ke Majapahit-pun diakhiri dengan pertumpahan darah.
Disisi lain, Sanskerta Deja Vu juga mengisahkan Perang Palembang, yaitu perjuangan bangsa Indonesia untuk bersatu dan bangkit dari keterperdayaan bangsa Belanda. Dalam perang 5 hari 5 malam Palembang juga terselip sebuah kisah cinta yang diuji dengan konflik politik dan disintegrasi.
Kedua latar tersebut dijembatani dengan satu latar penghubung yaitu museum. Diceritakan terdapat rombongan siswa/i SMA yang sedang berkunjung ke Museum Sangraha dan mempelajari sejarah kedua peperangan tersebut. Melihat diorama patung-patung yang ada di museum tersebut, terdapat dua siswa bernama Dian dan Rajasa yang seolah merasakan kepedihan dalam peperangan tersebut, seakan-akan mereka pernah mengalami kejadian tersebut, atau yang bisa dibilang Deja Vu.
Dengan apiknya, seluruh mahasiswa Prasmul yang menjadi cast mampu memaparkan benang merah dari kedua pertempuran tersebut yaitu terkikisnya rasa cinta karena egoisme, ambisi yang disalahgunakan, serta hasrat berlebih akan kekuasaan yang berujung penderitaan.
Melalui Deja Vu, diharapkan seluruh pengunjung yang hadir mampu belajar atas kesalahan masa lalu dan bergerak mengedepankan persatuan diatas keinginan sepihak. Karena sejatinya, bukan perbedaan adalah kodrat yang harus dirayakan dan bukan dipertetangkan,
Gabungan antara penjiwaan para cast, lantunan orkestra dan properti yang menarik membuat pesan moral dalam Sanskerta Deja Vu tersampaikan dengan baik. Melalui kolaborasi 98 panitia dan 81 performers, Drama musikal Sanskerta Deja Vu sukses menyedot animo penikmat teater. Dua Show yang dilakukan berhasil dipadati penonton lintas generasi, mulai dari generasi muda hingga para orang tua.
“Saya salut dengan kepedulian mahasiswa prasmul yang masih mau melestarikan sejarah. Cara pengemasannya menarik, pemainnya juga professional dan multitalenta banget. Yang ga kalah seru adalah harmonisasi antara pemain dengan orkestra yang dibawain secara live. Ga heran kalau yang nonton seramai ini,” ungkap Fauzan sebagai salah satu pengunjung.
Selamat untuk pementasan yang luar biasa kepada seluruh panita Sanskerta 2017, sampai bertemu di Sanskerta 2018! (*vio)
Sumber foto:
Add comment