Pada masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pemerintah menerapkan limitasi kontak fisik dan larangan bepergian. Menghadapi aturan ini, hampir seluruh sektor mulai melakukan transformasi digital agar bisnisnya tetap sustain, tak terkecuali dalam perihal pengoperasian yang membutuhkan penandatanganan dokumen. Alhasil, penggunaan tanda tangan elektronik menjadi salah satu alternatif pilihan oleh banyak perusahaan. Namun pertanyaannya adalah: Apakah sah?
“Jika membicarakan seputar trending, tentu saat ini semua ingin bisa switch dari tanda tangan basah ke elektronik,” ujar Harzy Randhani Irdham, S.H., LL.M., selaku VP Legal and Compliance PrivyID dalam ajang Lexinar 2020: Keabsahan Penggunaan Dokumen Elektronik di Masa Pandemi Covid-19 pada Jumat (⅞) lalu. “Namun, proses switching tersebut juga harus diimbangi dengan hukum tanda tangan elektronik dan itulah yang menjadi challenge bagi kami selaku certificate authority, regulator, dan user.”
Tersertifikasi vs. Tidak Tersertifikasi
Menggunakan konsep teknis, tanda tangan elektronik dapat merujuk pada dua jenis. Pertama adalah digital signature tersertifikasi yang merujuk secara khusus pada pemanfaatan infrastruktur kunci publik, yaitu pihak certification authority yang menerbitkan sertifikat elektronik bagi penggunanya. Sertifikat inilah yang nantinya akan di-embed ke dalam dokumen elektronik untuk kemudian mampu mengidentifikasi pihak yang melakukan penandatanganan serta perubahan versi dokumen. Hal ini yang berbeda dengan konsep teknis kedua, yaitu penggunaan digital signature dari hasil scan atau foto sehingga menghasilkan tanda tangan basah yang tidak tersertifikasi.
Meskipun kedua jenis tanda tangan elektronik tersebut diperbolehkan berdasarkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pokok perbedaan terletak pada kekuatan di mata hukum. Pak Harzy pun menekankan bahwa berdasarkan pasal 11 ayat (1), terdapat enam persyaratan yang harus dipenuhi agar tanda tangan elektronik dianggap sah, beberapa diantaranya adalah tentang keterkaitan penanda tangan terhadap dokumen, perubahan informasi, serta persetujuan. Dengan demikian, bekerja sama dengan penyedia sertifikat elektronik merupakan salah satu opsi guna memastikan keabsahan tanda tangan elektronik di mata hukum. “Keunggulan dari tanda tangan elektronik tersertifikasi adalah adanya jaminan hukum bahwa tanda tangan tersebut memenuhi requirement pasal 11 ayat (1) tersebut,” ungkap Pak Harzy.
Dalam penjelasannya, Pak Harzy turut memberikan ilustrasi mengenai proses verifikasi yang dilakukan PrivyID sebagai upaya memastikan keabsahan sebuah tanda tangan elektronik. Pertama, certification authority harus melakukan pembuktian terhadap identitas atau identity assurance dengan menghimpun data pribadi berupa NIK, alamat surat elektronik, dan data biometrik. Hal inilah yang membuat tanda tangan tersertifikasi lebih reliable. Kemudian, dalam mekanisme penggunaan sertifikat elektronik pun digunakan two factor authentication, yaitu private key dan public key untuk melakukan authentication assurance atau pembuktian terhadap autentisitas sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71.
Meskipun demikian, keabsahan tanda tangan elektronik bukan tak terbatas. Terdapat regulasi mengenai dokumen yang tidak dapat berbentuk elektronik, sebagaimana dalam pasal 5 ayat (4) UU ITE, salah satunya adalah akta notaril. Lebih lanjutnya, Simon Yos Sudarso, S.H., LL.M. selaku Notaris dan PPAT di Jakarta menjelaskan, “Akta notaris harus dibuat di hadapan pejabat publik umum yang berwenang karena hanya itulah alat bukti yang sempurna berdasarkan undang-undang.”.
Turut mengiyakan pernyataan para narasumber lainnya, Daniar Supriyadi, S.H., LL.M., Associate Digital Lawyer di Bahar Law Firm, menyatakan bahwa pada dasarnya, perundang-undangan telah memberikan panduan bahwa pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk peradaban manusia adalah hal yang sah. “Bottom line-nya adalah teknologi harus memberikan jaminan: andal, aman, bertanggung jawab dan beroperasi sebagaimana mestinya.”
Lexinar 2020: Keabsahan Penggunaan Dokumen Elektronik di Masa Pandemi Covid-19 merupakan webinar perdana Law Student Executive Council (LEXIL), himpunan kemahasiswaan S1 International Business Law Universitas Prasetiya Mulya yang dilaksanakan melalui ZOOM Meeting pada hari Jumat, 7 Agustus 2020 lalu. Kegiatan ini dimoderatori oleh I Made Widi Yudiatmika, mahasiswa International Business Law Universitas Prasetiya Mulya, dan menghadirkan 4 pembicara, antara lain Daniar Supriyadi, S.H., LL.M. (Associate Digital Lawyer of Bahar Law Firm); Harzy Randhani Irdham, S.H., LL.M. (VP Legal and Compliance PrivyID); Simon Yos Sudarso, S.H., LL.M. (Notaris dan PPAT di Jakarta, Dosen, Penulis); serta Tri Harnowo, S.H., M.M., LL.M., M.A (Ketua Program Studi International Business Law Universitas Prasetiya Mulya).
Add comment