Industri pariwisata dipaksa memutar otak lebih keras pada masa pandemi seperti sekarang. Pasalnya, sejak PSBB diberlakukan, industri ini lumpuh total. Kini, pada masa menuju tatanan hidup baru, sektor pariwisata berangsur pulih. Hanya saja, banyak tugas yang harus digenjot, termasuk menemukan potensi-potensi baru dan merombak target pasar.
Dalam webinar bertajuk “Unlocking New Opportunities in Domestic Tourism” yang diadakan oleh Universitas Prasetiya Mulya dan Touress pada Kamis (26/11), isu ini dikupas secara komprehensif oleh akademisi dan praktisi di bidangnya.
“Kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain, attractors yang kita miliki bukan main,” sebut Wakil Rektor 1 Universitas Prasetiya Mulya, Prof. Agus W. Soehadi yang hadir sebagai pembicara dalam webinar tersebut. “Namun, yang menjadi critical issue, belum banyak yang mampu mengonversi attractors tersebut menjadi produk pariwisata,” imbuhnya.
Selain Prof. Agus, hadir pula CEO Garuda Indonesia Bapak Irfan Setiaputra dan CEO Touress Ibu Astuti D. J. sebagai pembicara. Simak insight menarik dari diskusi mereka.
Menciptakan Pengalaman Berkesan
Perubahan perilaku pelanggan di masa pandemi betul-betul dirasakan oleh Garuda Indonesia. Berdasarkan survei yang mereka lakukan, 79% responden cenderung akan memilih maskapai penerbangan yang menaruh perhatian pada protokol kesehatan, serta 74% akan cenderung memilih maskapai yang memprioritaskan health and hygiene selama penerbangan.
Beranjak dari data ini, maskapai yang dipimpin Pak Irfan melakukan inovasi. Kepedulian mereka terhadap protokol kesehatan dinyatakan secara terang-terangan melalui penerapan seat distancing, mensyaratkan surat hasil rapid/PCR test, hidangan yang terkemas rapi, kedisiplinan bermasker, bahkan hingga menambahkan desain masker pada pesawat.
“Approach kita adalah to understand the people who fly. Kami memfokuskan diri untuk kampanye cleanness, health, and safety environment. Kita come up dengan tagline baru yang disebut #BecauseYouMatter,” sebut Pak Irfan.
Pak Irfan menerangkan, upaya seperti ini perlu dilakukan oleh pengelola destinasi wisata. Menurutnya, daerah yang tidak gencar menyatakan kesiapannya melaksanakan protokol kesehatan tidak akan dipilih oleh wisatawan.
Attractors Saja Tidak Cukup
Menurut Prof. Agus, attractors atau secara spesifik berupa destinasi wisata yang indah, ritual adat, serta produk kebudayaan saja tidak cukup memberikan pengalaman wisata yang berkesan. Ia menyebut bahwa tahapan tertinggi dalam konteks menciptakan pengalaman adalah terwujudnya suatu transformasi.
“Kita menjadi lebih bijak, kita menjadi lebih berpengetahuan. Ada transformasi yang dihasilkan ketika mereka berinteraksi dengan produk-produk wisata,” jelas Prof. Agus merujuk pada konsep eudaimonic tourism. Untuk sampai pada tahap ini, industri pariwisata harus memiliki ekosistem yang bersinergi.
“Attractors belum bisa menjadi tourism product sebelum itu diolah,” sebut Prof. Agus. Untuk itu, menurutnya diperlukan peran inovator atau experience creator yang bertugas menyulap attractors menjadi sebuah produk pariwisata melalui narasi, cerita, atau journey yang tidak biasa.
Inovasi tersebut kemudian harus dikembangkan dan dikelola dengan baik oleh seorang tourism entrepreneur. “Dikoneksikan dengan travel agents, dikoneksikan dengan hotel, dikoneksikan dengan transportation, dan sebagainya,” imbuhnya.
Tantangan ke Depan
Walaupun saat ini sektor pariwisata sudah perlahan-lahan membaik, masih ada beberapa negara yang membatasi akses keluar-masuk bagi warga negaranya sendiri ataupun wisatawan asing. Itu sebabnya, Kemenparekraf/Baparekraf mengarahkan industri pariwisata untuk memfokuskan diri pada target pasar dan destinasi wisata domestik.
Dengan kata lain, industri yang dulu tersegmentasi bagi wisatawan asing, kini harus beralih sementara untuk wisatawan lokal. Namun, Ibu Astuti mengatakan hal ini tidak mudah. Sebagai contoh, banyak hotel-hotel di Nusa Dua, Bali yang dari awal didesain untuk MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) skala dunia. Kala pandemi melanda, hotel-hotel dengan jumlah kamar fantastis ini kosong melompong.
“Challenge-nya adalah bagaimana men-develop suatu destinasi, tapi di satu sisi juga harus adjust target market baru. Challenge-nya seperti itu,” ungkap Ibu Astuti.
Ia menambahkan, paling tidak dibutuhkan minimal 3 bulan bagi industri pariwisata untuk melakukan penyesuaian, mulai dari layanan, operasional, pemasaran, dan aspek lainnya.
Namun, hal ini menjadi paling realistis dilakukan daripada diam menunggu hingga pandemi usai. Apalagi sejak kebijakan penerbangan domestik di Indonesia sudah tidak sekekat pada masa-masa awal pandemi, peluang ini yang harus coba dilirik oleh para pelaku industri pariwisata.
Add comment