Masa sesudah pandemi merupakan momentum untuk remake dan menempatkan inclusion pada sentral economic policy making.
Prof. Dr. Djisman S. Simandjuntak
Cekaman pandemi turut memberikan dampak tidak langsung terhadap keberadaan UMKM dan wirausaha, yang diharapkan menjadi mitra dalam penerapan bisnis inklusif. Karena itu, dibutuhkan unprecedented policies atau kebijakan yang belum pernah dipikirkan sebelumnya, untuk kembali menggenjot sisi permintaan dan penawaran di Indonesia.
Hal ini disampaikan Ibu Amalia Adininggar Widyasanti selaku Deputi Bidang Ekonomi Bappenas ketika membuka “Workshop for Inclusive Business Policy Makers” pada Selasa (23/03), sebagai bagian dari rangkaian kerjasama antara Inclusive Sustainable Economic Development (ISED) dan Business Venture and Development Institute (BVDI) Universitas Prasetiya Mulya.
Bisnis Inklusif, Katalis Pemulihan Ekonomi
Sudah hampir 4 tahun kerjasama bilateral antara pemerintah Indonesia dan Jerman melalui ISED ini berjalan. Selama itu pula, berbagai kegiatan digalakkan untuk memperkuat pelaku publik dan swasta dalam mempromosikan peluang kerja berkelanjutan dalam dua sektor ekonomi, yakni pariwisata dan subsektor kuliner.
Fun Fact: Pemerintah menetapkan sektor pariwisata sebagai salah satu keunggulan usaha domestik, dengan kontribusi subsektor kuliner sebesar 60%.
“Terdapat 6 kegiatan besar yang telah diwujudnyatakan dari proyek ISED,” ujar Ibu Dian Vitriani, Team Leader & Senior Advisor ISED Project. “364 orang telah berpartisipasi dalam berbagai pelatihan, di mana 66% adalah anak muda di bawah usia 30 tahun, dan 84% perempuan,” sambungnya.
Bisnis inklusif sendiri merupakan model bisnis inovatif yang menyediakan barang, jasa dan mata pencaharian komersial, bagi masyarakat di dasar piramida ekonomi dengan menjadikannya bagian dari rantai nilai inti perusahaan.
Bisnis inklusif menguntungkan 3 pihak, yaitu perusahaan yang memperoleh profit lebih, pemerintah yang dapat mengurangi angka kemiskinan, dan terutama masyarakat ekonomi rendah yang memperoleh akses terhadap barang, jasa, teknologi, serta keahlian.
Martha Perez Cuzo, Economic Affairs Officer ESCAP
Dalam hal ini, perusahaan membutuhkan informasi untuk mengetahui kesempatan pasar hingga akses keuangan, begitu pula instrumen kebijakan yang diperlukan, untuk mempermudah jalannya bisnis inklusif.
Kontribusi Prasetiya Mulya
Sebagai institusi pendidikan yang mendukung penuh proyek ISED, Prasetiya Mulya melalui BVDI telah menjalankan berbagai upaya promotif, serta menciptakan fasilitator guna menjaga keberlangsungan jangka panjang model bisnis ini.
Hal tersebut tampak dari berbagai program Training for Trainers, Training for Practitioners, Workshop, serta evaluasi berkala yang telah dijalankan selama hampir satu tahun kemitraan.
Selain itu, Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Prof. Dr. Djisman S. Simandjuntak turut menyatakan, “Sebagai universitas yang menempatkan UMKM dalam pusat panggilan keberadaannya, kami mendorong BVDI untuk bisa menjadi mitra andal dan terpercaya bagi inclusive business policy makers.”
“Awal bulan depan, kami akan melakukan initial assessment untuk workshop, memberikan pendampingan berupa business coaching, serta Business Expo dimana pelaku bisnis inklusif akan menunjukkan usahanya dan bertemu dengan para calon investor,” ungkap Bapak Eko Suhartanto, Director of Academic Learning and Administration Universitas Prasetiya Mulya.
Pentingnya Penguatan Policy Making
Meski merupakan model bisnis inovatif yang bermanfaat bagi penyejahteraan kaum marjinal, hingga kini belum ada kebijakan eksplisit di level nasional yang secara resmi mengadopsi bisnis inklusif sebagai suatu model kemitraan. Alhasil, kurangnya kerangka regulasi menjadikan interpretasi bisnis inklusif menjadi kurang efektif.
“Padahal, dalam berbagai praktik telah menunjukkan betapa bisnis inklusif memberikan dampak besar yang layak dijadikan regulasi,” Prof. Dr. Ida Bagus Rahmadi Supancana, selaku Chairman/Founder, Center for Regulatory Research.
Menyampaikan analisisnya terhadap pilot project bisnis inklusif di Wisata Kebugaran Bilebante, Prof. Supancana menjelaskan bahwa implikasi positif yang tampak antara lain makin banyaknya turis, terciptanya lapangan kerja baru, serta adanya dukungan lebih terhadap program pemerintah.
“Inilah yang diharapkan dapat menjadi replikasi ke sektor lain melalui pengadopsian secara eksplisit bisnis inklusif dan mengajarkannya di dalam peraturan perundang-undangan,” pungkas Prof. Supancana.
“Demi implementasi yang efektif, tentunya akan dibutuhkan pendekatan komprehensif, terintegrasi, dan bersifat lintas sektor.”
Add comment