Belajar menghargai perbedaan, rupanya bisa dimulai dengan mengapresiasi keberagaman karya sastra Indonesia. Pada 14 Desember 2021 sore kemarin, civitas akademika Universitas Prasetiya Mulya diajak kembali menyusuri rak buku tua yang penuh dengan nama-nama besar dari berbagai era seperti Selasih, Sapardi Djoko Darmono, M. Aan Mansyur, dan tak terhitung banyaknya sastrawan dari berbagai ruang waktu.
Ragam & Keberagaman
Kata ‘ragam’ tidak tersemat pada acara Ragam 2021: Prasmul Punya Kata tanpa sebab, karena rangkaian tahun ini pun memancarkan makna dari kata tersebut. Setelah melangsungkan kompetisi karya tulis, Ragam 2021 diakhiri dengan acara puncak yang terdiri dari talkshow serta pengumuman lomba. Prolog tentang nasib miris nan ironis slogan Bhinneka Tunggal Ika menjadi pembuka cerita hari itu.
Sebagai gerakan untuk mengawetkan budaya toleransi terhadap keberagaman, Ragam 2021 mengundang civitas Prasmul untuk berpartisipasi, baik dalam kompetisi maupun pembacaan puisi.
Hadir lima karya puisi dari nama-nama masyhur seperti Joko Pinurbo, Gus Mus, Berto Leteng, Bung Karno dan Kalidasa. Puisi-puisi ini menyimpan makna spesial bagi para Faculty Member, staf, alumni, serta mahasiswa yang membacanya. Karena selain menyorot isu kemajemukan di masyarakat, puisi tersebut juga sejalur dengan kenangan manis soal keberagaman dalam kehidupan pribadi mereka.
Diversity: Problematika Sosial yang Berakar dari Generasi
Dewasa ini, kita melihat banyak bentuk diskriminasi, baik dari yang harmless seperti stereotip suku, hinggal harmful seperti kekerasan berbasis SARA. Bukankah ini kontradiktif—era terhadap akses informasi yang luas disandingkan dengan intoleransi? Ternyata, ada sebabnya. Faisal Oddang, penulis “Tiba Sebelum Berangkat” merujuk pada de Bonald soal akar permasalahan dari isu-isu yang muncul pada tiap generasi, salah satunya toleransi terhadap keberagaman: lingkungan tumbuh kembang pada generasi tertentu.
“Kalau teman-teman membaca karya sastra sebelum reformasi kita, sangat mudah menemukan bagaimana kecenderungan gagasan penulis-penulis Indonesia saat itu, dibanding zaman digital agak berbeda,” jelas pemuda asal Wajo, Sulawesi Selatan tersebut. “Setiap angkatan sastra Indonesia dibentuk secara tidak langsung oleh kondisi masyarakat ketika karya itu lahir.”
Konsep ini lalu diterangkan lebih lanjut oleh Leila S. Chudori yang juga merupakan mantan jurnalis Tempo.
Apa yang membentuk pemikiran dan sikap kita terhadap diversity dan perbedaan sebetulnya dimulai dari masa pertumbuhan di keluarga dan masa pendidikan. Setelah itu, saat Anda bekerja, dan selama itu Anda sudah terbentuk. Di sanalah Anda punya kewajiban untuk memperlihatkan kalau hidup ini beragam dan justru di situ keindahannya.
Sastra: Tentang Generasi, Evolusi, dan Solusi
Selain memengaruhi pola pikir generasi muda, ternyata perubahan yang terjadi di era digital memberikan imbas pada bentuk, teknis penulisan, dan platform karya sastra. Seperti platform baru penerbitan karya sastra dan cetak, yang secara tidak langsung mengharuskan penulis memaksimalkan potensi market dan penulisan di media digital. Salah satu contoh adalah Faisal sendiri, yang mempublikasikan karyanya di Kumparan Plus, juga dalam bentuk audio.
“Ide-ide itu dari perkembangan zaman. Saya pikir generasi teman-teman adalah generasi yang melek akan hal tersebut dan generasi yang memungkinkan untuk bereksperimen saat berkarya.”
Faisal Oddang
Lantas, bagaimana caranya agar sastra tetap relevan dengan generasi baru?
- Pemetaan Minat
Bergiat di bidang literasi tidak mesti menjadi penulis, ada beragam peran lainnya seperti toko buku, ruang baca, komunitas, atau penerbit. - Bekerja Kolektif
Bekerja secara kolektif dengan orang atau kelompok lain adalah kunci: setiap bidang seperti keping puzzle yang saling melengkapi. - Amplifikasi
Penyebaran info, publikasi, dan upaya memperluas gerakan tidak kalah penting.
Add comment