Polusi sampah diperkirakan akan makin melonjak pada tahun-tahun mendatang, dan sekadar me-recycle belum tentu menjadi rencana awet ke depannya. Namun Plana, punya gagasan baru untuk menanggulangi krisis sampah. Yuk, intip perbincangan Cerita Prasmul bersama Co-Founder Plana dan alumnus Prasetiya Mulya, Juan Aprilliano Chandra!
No Plan B? Stick to Plana!
There is No Planet B.
Mike Berners-Lee
Data bisa di-back-up, tapi tidak dengan bumi, dan bumi sedang menghadapi kurangnya penguatan manajemen sampah. Sekalipun sudah banyak masyarakat Indonesia yang sadar lingkungan dan mulai bergerak secara kecil-kecilan, apakah gerakan itu cukup untuk menyetop sejenak tumpukan sampah?
Inilah yang hendak diangkat oleh Plana, perusahaan manufaktur bahan bangunan yang memiliki kepanjangan Plastic for Nature. Bermula dari bisnis keluarga yang sama-sama berkutat dengan plastik, generasi muda mereka menyadari bahwa industri plastik juga menimbulkan dampak negatif dan membutuhkan solusi jangka panjang untuk berubah menjadi sustainable.
“Kita percaya sebenarnya plastik tuh awalnya dibuat untuk alam,” ujar pemuda yang akrab dipanggil Juan. “Saya belajar kalau ternyata plastik itu pengeluaran atau produksi karbonnya paling sedikit dibandingkan produksi besi dan lainnya. Akhirnya setelah research, kita menemukan bahwa plastik kalau di-recycle menjadi produk yang benar bisa betul-betul awet, tidak seperti botol plastik yang dalam waktu 2-3 bulan bakalan jadi sampah lagi.”
Mindset inilah yang kemudian menuntun para Co-founder Plana mendalami industri building materials.
“Kalau dibandingkan, dengan bentuk, jenis, dan kegunaan bahan bangunan yang sama atau mirip, jauh lebih bagus pakai plastik. Lebih cepat, praktis, dan mudah diolah kembali.”
Tetap menggunakan plastik sebagai bahan utama, Plana pun membuat dua produk utama mereka, Plana Brick dan Plana Wood yang semua bahan bakunya juga terdiri dari olahan sampah lain seperti puntung rokok dan gabah padi.
Holy Trinity of Sustainability: Social, Economy, Environment
Jargon sustainability tentu sudah tidak asing lagi di dunia bisnis, dan juga seringkali dikaitkan dengan warna hijau atau lingkungan. Tapi, kenyataannya, sustainability lebih dari aspek lingkungan saja – ini yang kerap dilupakan oleh para pebisnis.
Meski memang awalnya Plana berangkat dari permasalahan lingkungan, bisnis ini kemudian merambah ke aspek sosial dan ekonomi. Contohnya, Plana Wood. Jangan terkecoh dengan namanya, karena Plana Wood bukan kayu biasa! Ia punya erat juga dengan salah satu misi Plana untuk menghambat deforestasi dan menyejahterakan petani. “Kita motong kayu, tapi kayu tumbuhnya 30-50 tahun. Regenerasinya lama. Akhirnya yang kita gunakan adalah gabah padi yang di-recycle bersama plastik.”
Alumnus jurusan Finance 2014 itu lalu melanjutkan, “Kita ambil gabah padi dari petani, karena (gabah padi) di antara petani nggak ada nilainya. Kalaupun mau dipakai oleh petani, harus dibakar dan fasilitasnya jarang. Untuk tiap 1 kg beras, itu pasti ada sekitar 600-700 gr gabah padi. Bayangkan ada berapa ton gabah dalam 3-4 kali panen dalam setahun.”
Tidak hanya menyiptakan papan kayu saja, tetapi Plana juga mencoba membuat “batu bata” dari sampah yang belum terolah seperti plastik endapan dan puntung rokok.
Privilese = Pendongkrak, Kompetitor = Kolaborator
Tuntutan menjadi inspiratif yang harus memulai segalanya dari “nol total” sering kali disuarakan sebagai kesuksesan. Juan tidak sepenuhnya sependapat. Menurut laki-laki yang hobi bermain golf itu, “Kalau punya resource, wajib banget dimanfaatkan sebaik-baiknya”. Seperti yang disebutkan sebelumnya, Plana berangkat dari family business yang bergerak di bidang manufaktur plastik dan menjadi parent company Plana. Anggota-anggota inti Plana yang berkuliah di Prasmul seperti Juan Chandra, Kenny Lukito, Joshua pun mayoritas terhitung masih kerabat. Ditambah dengan kerabat lain seperti Louis dan Andry Cung, serta kolega yang terhubung dari kampus, Sarah Dolores dan Ihsan Ibrahim, Plana memiliki dua dekade pengalaman, akses pengetahuan plastik, serta modal besar. Dengan kata lain, privileged.
“Kalau mau berbisnis, coba dilihat dulu apa yang ada sebagai aset kita. Pengetahuan dan interest yang sudah lebih dipahami, dari family business misalnya, ataupun hal lain selama kuliah seperti kami di Prasmul, setidaknya sudah tahu cara untuk memulai.” Tapi, privilege ini juga punya tantangan tersendiri, Juan mengakui.
“Salah satu yang suka jadi masalah adalah dengan keadaan uang yang cukup, kita jadi punya ide bercabang karena kita semakin punya banyak opsi. Jangan sampai ke-distract; nggak perlu terlalu jauh untuk mencari ide. Fokus ke mendetailkan ide yang sudah ada.”
Juan juga membagikan tips lain yang cukup nonkonvensional, yaitu menggandeng kompetitor.
“Jangan takut untuk sharing atau berkolaborasi atau untuk menggaet banyak orang. Karena aku melihat, kalau kita berbisnis, kita malah jadi nggak mau ngobrol karena kita kompetitor. Padahal kita mau cari tahu, sebenarnya banyak yang bisa kita kerjain bareng-bareng.”
Add comment