Kerja keras merupakan salah satu faktor penentu kesuksesan. Kalimat tersebut seringkali dijadikan alasan seseorang bekerja tanpa henti dengan harapan mampu meraih pencapaian yang lebih. Namun, tidak semua orang mampu mengendalikan obsesinya untuk bekerja atau yang biasa dikenal sebagai toxic productivity. Hal serupa pernah dirasakan oleh Tiara Widjanarko, alumnus MM Prasetiya Mulya, yang sudah berhasil keluar dari fase tersebut.
Toxic Productivity
Sebelum membahas lebih lanjut, mari berkenalan dengan istilah toxic productivity. Dilansir dari Halodoc, toxic productivity merupakan keinginan manusia yang cenderung tidak normal, yaitu untuk bekerja tiap saat. Akibatnya, keseharian yang selalu padat membuat manusia menjadi stres tingkat tinggi atau burnout.
Istilah ini menjadi sangat populer di masa pandemi. Alasannya pun diungkap oleh Kathryn Esquer, seorang psikolog dan pendiri Jaringan Teleterapis, yaitu mobilitas yang terbatas di masa krisis ini menyebabkan orang memiliki banyak waktu luang dan untuk membuat dirinya merasa berguna. Seseorang cenderung akan bekerja terus menerus di jeda tersebut. Alhasil, manusia yang berada dalam toxic productivity selalu merasa bersalah apabila menghabiskan jam kosong untuk bermalas-malasan.
Mengetahui Batasan Diri
Olahraga itu rawan cedera atau berakibat fatal, kalau tidak tahu batasan diri.
Tiara Widjanarko
Wanita berlatar belakang ilmu komunikasi dan jurnalistik ini mengaku merasakan dampak positif dari olahraga. Selain menjadi lebih bugar dan bersemangat, ia menyadari bahwa segala hal yang terlalu diforsir itu tidak baik. “Sebelumnya, saya prefer dan terbiasa bekerja sampai larut malam atau bahkan pagi, hampir setiap hari. Jelas, jelas ini bukan pola yang menyehatkan dan pengaruhnya buruk ke performa pekerjaan,” ungkap Tiara. Hingga akhirnya, wanita sedang menjabat sebagai Marketing Director FM World Indonesia itu mulai rutin berolahraga. Baginya, olahraga mengajarkan betapa penting mengetahui batasan diri. “Harus bisa tahu, kapan berhenti, gak bisa dipaksa”, jelasnya.
Pemahaman ini secara nyata menjadi salah satu cara paling efisien untuk mencintai diri sendiri. Selain itu, studi dari The University of British Columbia juga menyatakan bahwa menentukan dan menetapkan seberapa jauh dan seberapa banyak yang akan dibagikan atau diberikan kepada orang lain adalah hal yang sangat menantang, dan ketika gagal melakukannya, kesehatan mental akan menurun drastis.
Berkompetisi dengan Diri Sendiri
Dalam hidup, kerap kali manusia merasa rumput tetangga selalu lebih hijau atau selalu beranggapan bahwa orang lain jauh lebih berhasil dibanding diri sendiri, sehingga masing-masing individu saling berkompetisi dengan individu lainnya. Namun, yang tidak disadari bahwa musuh sebenarnya adalah versi terbaik dari diri sendiri, bukan orang lain seperti kata pepatah “your greatest opponent is yourself.”
Sebenarnya, yang harus dilawan adalah prestasi diri sendiri atau berkompetisi dengan diri sendiri untuk selalu menjadi lebih baik setiap harinya.
Tiara Widjanarko
Wanita yang sering mengikuti perlombaan triathlon ini menjelaskan bahwa lawan yang sepadan adalah diri sendiri. “Misalnya ketika berolahraga, hari ini berhasil mencapai target kecepatan, besok ada target baru yang harus diraih, dan jangan pernah puas,” ujarnya. Tak heran, prinsip tersebut juga ia terapkan dalam kehidupan profesional, termasuk ketika menggeluti dunia pemasaran dimana harus selalu tertantang untuk mempelajari cara menangani berbagai tipe klien dengan segala latar belakang yang berbeda.
Dalam kesempatan lalu, sang brand ambassador dari Santini, cycling apparel dari Italia, juga menceritakan momen ketika ia harus mempelajari kasus demi kasus supaya dapat menemukan solusi yang paling tepat dalam pengembangan usaha pribadi miliknya, Sejiwa DNA Jewelry. Hasilnya? Bisnis ini mampu meraih peningkatan sales sebesar 300% di masa pandemi.
Meluangkan Waktu untuk Diri Sendiri
Olahraga menjadi salah satu pilihan ketika merasa jenuh dengan pekerjaan. Hal ini juga diakui oleh pemilik dari House of Relax, “Salah satu olahraga favorit aku adalah diving karena diving termasuk moving meditation untuk charging diri sendiri setelah lelah bekerja.” Studi yang dilakukan di Harvard juga menyebutkan hasil serupa, yaitu olahraga mampu menurunkan risiko mengalami depresi sebesar 26%.
Selain olahraga, Tiara juga memiliki segudang alternatif lain untuk menyegarkan diri, seperti menulis buku bersama rekan-rekannya, berbagi ilmu di komunitas-komunitas sastra, dan masih banyak lagi. “Momen untuk memanjakan diri juga saya lakukan dengan membaca buku, hangout bareng keluarga, atau membaca dan menerbitkan puisi saya sendiri.”
Secara umum, meluangkan waktu untuk diri sendiri atau yang akrab disebut dengan me time mempunyai banyak manfaat, seperti memperbaiki kualitas tidur, membantu mengontrol mood, dan meningkatkan level kesabaran. Bahkan, efek positifnya juga bisa dirasakan dalam suatu hubungan. Seperti hasil riset OnePoll, menyatakan bahwa 85% orang yang melakukan me time lebih mempunyai hubungan yang baik dengan partner.
Add comment