“Kita terjun di industri skincare sudah gelap (pandemi), jadi jalani aja yang katanya lebih gelap (resesi),” ungkap Agrita Alba. Begitulah respon CEO dari SKIN TIME ketika ditanya tentang persiapannya menghadapi resesi yang digadang-gadang akan terjadi di 2023. Kepercayaan diri ini juga tak terlepas dari kredibilitas produk dan brand yang telah dibangunnya yang membuat SKIN TIME dapat meraih banyak loyal customer dalam waktu singkat. SKIN TIME menyediakan rangkaian skincare probiotic dengan advanced biotechnology dan balanced formula untuk kulit sensitif dan mudah berjerawat. Namun, bagaimana kisah perjuangannya untuk mendirikan bisnis di masa pandemi? Simak selengkapnya disini.
Bersahabat dengan Tantangan
William, COO SKIN TIME, menceritakan bagaimana proses yang harus dilalui untuk merintis startupnya. Perjuangan bersama Agrita dimulai dari menyesuaikan antara problem yang ada dengan solusi yang ditawarkan oleh produk, atau yang biasa dikenal dengan istilah problem solution fit. Di semua tahap, termasuk fase ini, mereka menentukan target berdasarkan data. “Di stage pertama itu, kita menargetkan berapa banyak yang akan mencoba produk, merekomendasikan produk kita ke temannya, dan apakah mereka akan pakai produk kita sebagai daily usage atau nggak,” William menjelaskan.
Disinilah, Agrita dan William banyak menguras waktu dan tenaga untuk menemukan formulasi yang tepat, sesuai dengan feedback dari sample. Setelah itu, langkahnya berlanjut ke product market fit untuk memvalidasi apakah konsumen benar-benar cocok dengan produk SKIN TIME. Pasangan suami istri ini pun memasukkan NPS (Net Promoter Score), PAV (Potential Additional Visitors), dan LTV (Lifetime Value) ke dalam perhitungan bisnis.
Tantangan pun tak terlewatkan, ketika harus menemukan customer acquisition mana yang paling efektif dengan kondisi tanpa data yang memadai. Alhasil, dua lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Atma Jaya ini melakukan uji coba dan evaluasi secara mandiri. “Awalnya kita masih buta nih, jadi trial and error yang paling berpotensi dan ketika kita nemuin mana yang berhasil, akhirnya kita maksimalkan disana,” William memaparkan.
Setiap proses dilalui dengan sabar dan tekun. Bahkan, setelah produknya siap untuk dipasarkan, mereka sempat terkendala dari segi ketersediaan raw material. “Packaging dan raw material kita mostly impor. Saat pandemi COVID-19, banyak kendala di pengiriman, semua jadi delay. Bahkan ada beberapa raw material yang discontinued sehingga harus cari dari supplier lain, dan itu berarti harus mengulang RnD lagi dari awal,” cerita Agrita.
Edukasi Sebagai Unique Selling Point
Value edukasi menjadi pondasi kegigihan SKIN TIME di tengah pandemi. Berbekal ilmu kedokteran yang dimiliki, para founders yakin bahwa mengedukasi calon konsumen adalah celah yang bisa dimanfaatkan dengan baik. “Brand skincare lain banyak yang menonjolkan komposisi bahan. Padahal, semakin tinggi komposisi belum tentu semakin baik dan bisa menimbulkan iritasi. Jadi, kita mau mengedukasi pentingnya balanced formula,” jelas Agrita.
Kepekaan ini berawal dari riset yang dilakukan terhadap consumer journey sebelum membeli produk perawatan kulit. “Orang membutuhkan waktu sekitar 7-10 hari untuk menimbang-nimbang mana skincare yang cocok untuk kulitnya,” tutur William. Ini mengapa mereka bertekad untuk menambahkan sisi edukasi di segala aspek, mulai dari konten di media sosial, hingga training untuk admin di marketplace dan brand advocate di komunitas. Sampai saat ini, SKIN TIME memiliki berbagai varian produk perawatan kulit, mulai dari cleanser, essence, hingga essence.
Usaha ini pun berbuah manis terhadap loyalitas konsumen. Menurut William, “Menariknya, edukasi ini faktor yang bikin retention rate kita naik karena ternyata konsumen suka dijelasin dan mau memahami apa yang mereka pakai”. Tidak hanya mempertahankan konsumen, strategi ini ampuh untuk memikat hati konsumen baru yang awalnya ragu untuk membeli sebuah produk.
Resesi? Jangan Panik
Belum selesai dengan pandemi, Agrita dan William harus siap menghadapi potensi resesi. Tidak panik adalah kata yang pertama kali dilontarkan. Seperti pandangan Agrita, “Kalau kita sih mikirnya, jangan panik, karena kalau panik, decision making kita berdasarkan kepanikan dan ketakutan”.
Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah memastikan kesiapan kondisi keuangan. Prioritas utamanya adalah ketersediaan cash flow untuk kebutuhan operasional dengan tetap memperhatikan profitable growth sebelum 2023 datang.
William punya perspektif lain terkait strategi yang dipersiapkan, yaitu inovasi. “Harus terus inovasi, apa yang bisa didigitalisasi, proses apa yang bisa dibuat lebih efisien, dan sistem mana yang bisa dirapikan lagi”.
Add comment