Jepang jadi negara pertama yang tertarik pada Revolusi Industri 5.0 pada 2017. Sejak itu, mata global mulai melirik pada potensi tersebut.
Tak mau ketinggalan, FinFerence 2023 pun ikut menjadikannya sebagai tema utama, yaitu “The Spirit of 5.0: The Next Wave of Innovation and Collaboration”. Acara yang berlangsung pada tanggal 29-30 September 2023 ini diadakan di Gedung William Soeryadjaya, Universitas Prasetiya Mulya, dengan menghadirkan langsung delapan pembicara yang ahli di bidangnya.
FINference merupakan rangkaian acara tahunan program S1 Finance and Banking, dengan kegiatan seminar dan workshop (lokakarya) yang berada di dalam naungan Himpunan Mahasiswa Finance and Investment Society (FIS). Dan tentunya, acara ini juga tidak dipungut biaya–menyambut siapapun yang mau menimba ilmu di dunia keuangan dan juga teknologi.
Say No to Business Model Jadul!
Bisa dibilang, revolusi kali ini benar-benar membawa gebrakan baru, bukan hanya untuk satu atau beberapa industri, melainkan untuk seluruh industri. Pasalnya, kalau kemarin setiap individu dipaksa untuk bertransformasi digital, sekarang teknologi saja tidak cukup.
“Saya melihat 5.0 itu akan masuk ke zaman yang lebih concern tidak hanya hubungan manusia dan teknologi, tapi manusia, teknologi, dan climate.” – Melvin Mumpuni CFP (Founder and Director of Finansialku)
Pada sesi tersebut, ia juga menjelaskan bahwa kedepannya, sustainability atau keberlangsungan dari manusia juga menjadi poin yang dipertimbangkan. Yang berarti, akan membawa perubahan pada model bisnis yang diterapkan oleh perusahaan.
Amry Amanah, VP of Engineering KitaLulus, juga menyetujui pernyataan tersebut. Bahkan, ia juga menyebut bahwa di masa mendatang, kebutuhan setiap manusia yang beragam juga harus bisa dipenuhi supaya semakin sejahtera, “Kalau industri 4.0 berbicara tentang mass production, industri 5.0 menitikberatkan pada mass personalization.”
Pertumbuhan Petani Tak Boleh Terhalang Finansial
Salah satu yang menjadi motor penggerak roda perekonomian di Indonesia adalah petani. Sayangnya, kesenjangan antara harga jual petani dan harga beli konsumen masih menjadi masalah yang belum menemukan jalan keluar.
Maka dari itu, Hendri Surya Widcaksana (Communications and Social Media Manager at PISAgro) berusaha untuk melakukan interupsi demi mengurangi gap tersebut. Akibatnya, para petani pun mengalami kesulitan finansial yang juga berdampak untuk industri pertanian. Untuk menjawab kondisi tersebut, PISAgro mengaku sedang mengembangkan rantai pasok terintegrasi, “Saat ini PISAgro dan beberapa stakeholder lain mengembangkan rantai pasok terintegrasi dimana semua yang terlibat keroyokan, we have to contribute berdasarkan kemampuan masing-masing.”
Ketika ditanya lebih lanjut tentang keterlibatan masing-masing pihak, ia menyebut bahwa pemerintah ikut andil regulasi, financial institutions menyediakan access to finance, dan perusahaan memberi bantuan kepada petani.
Skema serupa juga terjadi di industri perikanan dimana eFishery hadir sebagai agregator, “Kita membawa data petani ke financial institutions dan memperlihatkan histori budidayanya seperti apa, yang menunjukkan kalau petani ikan ini punya potensi keuangan jangka panjang dan capability of aquaculture yang strong,” perjelas Ksatriya Anantayutya (Head of Business Development at eFishery)
Tak hanya itu, ia juga memaparkan perbedaan treatment yang diberikan untuk petani udang, yang bisa membawa produknya ke Amerika. Udang-udang ini bahkan memiliki barcode berisi detail profil petani dan siklus berbudaya.
Bukan Skill, Edukasi Indonesia Minim Ketahanan dan Aksesibilitas
Sekarang, mari berbicara tentang industri edukasi yang ada di Indonesia. Sejalan dengan yang disampaikan pada sesi pertama, industri 5.0 itu lebih memperhatikan well-being dari setiap individu.
“Generasi penerus bangsa harus punya resilience dan well-being, yang berarti harus mampu memprediksi kedepan akan seperti apa supaya bisa mengetahui skill apa yang akan naik daun dan sistem apa yang harus diterapkan mulai dari sekarang.” – Joe William Wartono (Head of Academy at Sevenpreneur)
Hal ini ia temukan di banyak negara maju, yang pada akhirnya mengubah pola pikirnya. Menurutnya sekarang, negara maju itu bukan dilihat dari semakin banyak jam kerjanya, tapi diketahui dari seberapa maksimal output-nya sembari menjaga kesejahteraan manusianya.
Tanggapan lain juga disampaikan oleh Ignasius Seto Lareno, Chief Academic Officer at Binar Academy. Ia berpendapat bahwa edukasi global juga memiliki masalah yang sama yaitu tentang aksesibilitas, “Bagaimana kita bisa menyediakan materi pembelajaran, tenaga pembelajaran yang sama di seluruh level, background, dan daerah.”
Ia juga menambahkan pentingnya ilmu tentang substantial content dibanding memanfaatkan memori yang dimiliki. Alasannya, karena yang paling penting adalah kemampuan untuk bisa mengembangkan human abstract thinking.
Keseimbangan Antar Elemen
Satu poin yang jangan sampai terlupakan adalah keseimbangan diantara perubahan yang terjadi. Menariknya, tak banyak orang yang menyadari bahwa setiap ada inovasi, pasti harus diikuti oleh regulasi yang menjamin keamanan bagi semua pihak. Namun, Charisma Aryani Albandjar, DANA Commissioner and Advisor dan Board Member of Indonesia Fintech Association (Aftech), harus mengungkap fakta, “Regulasi selalu ketinggalan dengan inovasi.”
Bukti nyatanya adalah peraturan tentang TikTok Shop yang baru-baru ini menggemparkan Indonesia, yang mana memaksa pemerintah Indonesia untuk menetapkan dan mengetatkan regulasi perdagangan daring di Indonesia.
Pernyataan tersebut juga disepakati oleh Syanne Gracetine, Sales in House BNI Sekuritas dan Investment Educator, “Inovasi selalu menyesuaikan dengan masalah yang ada, inovasi selalu menyesuaikan dengan kebutuhan yang ada, sedangkan regulasi enggak bisa secepet itu.”
Terlepas dari itu, sebagai konsumen atau mungkin produsen digital, Anda harus semakin cerdas dan bijak dalam memanfaatkan teknologi karena teknologi diciptakan untuk berintegrasi dengan manusia, bukan untuk menguasai manusia.
Add comment