Dalam kisah merintis bisnisnya, interkonektivitas menjadi konsep besar yang menyatukan kegiatan usaha Theo Derick.
Defining “Interconnectivity”
Bermula dari Byte Project, bisnis pertamanya yang berkembang dan sukses, Theo Derick kini memiliki tiga bisnis yang berjalan dan menjalani peran sebagai KOL juga.
Pada 2015, tepatnya saat semester delapan, Theo mendirikan Byte Project. Sejak saat itulah, Theo mulai mengadakan sekitar 30-40 proyek pameran dalam setahun di berbagai tempat, seperti PIK Avenue, Sampoerna Strategic, Kota Kasablanka, Puri, Central Pacific, Living World, hingga ke Margo City Depok.
“Byte sebenernya itu terinspirasi dari Pop-Up Market. Gua mau bikin yang komersilnya,” ungkap Theo, yang kini memiliki lebih dari 500 ribu followers di Instagram. “Dulu (waktu mengadakan pameran) di GI (Grand Indonesia) itu, tenant gue sekitar 110, dan 60-an punyanya anak Prasmul yang lagi business project.”
Sayangnya, pandemi berlangsung dan kegiatan semacam pameran diberhentikan sejenak. Tak putus asa, Theo kemudian membuka sebuah creative agency, Studio Acro.
Studio Acro juga pernah memegang branding klien ternama, lho. Sebutlah Pegadaian, Shark, Antangin, Saturdays Glasses. Dari media sosial hingga ke rumah produksi, Studio Acro membantu klien-klien ini dalam membangun citra brand mereka.
Namun percaya atau tidak, Byte Project dan Studio Acro ini bagaikan kakak beradik yang saling terhubung dan melengkapi.
“Waktu pandemi, gue melihat semuanya jadi serba online, kayaknya harus ada creative agency juga. Kemudian sehabis endemi, gue hidupin lagi pamerannya. Nah jadi ketika offlinenya hidup lagi, onlinenya pun sudah jadi ada wadahnya.” Theo menceritakan asal-usul Studio Acro.
“Jadi kalo ditarik garis, usaha-usaha gue tuh B2B services, semua buat keperluan brand. Pasar dan presence offline bisa melalui Byte. Untuk branding, penetrating online market, bangun presence, bisa ke Studio Acro.”
Interkonektivitas di dalam dinamika usaha-usaha pria yang hobi bertemu dengan orang ini, tidak berhenti di B2B services saja. Karena, salah satu pelajaran dalam mengembangkan Byte Studio dan Studio Acro adalah networking.
Solusi ini Theo temukan saat memulai usaha pamerannya, Byte Project. Dan uniknya, jawaban ini didapatnya dari ajakan seorang teman untuk nongkrong dan ngopi.
“Ketemu-ketemu orang, kenalan. Baru sadar, si ini kenal itu, si A kenal B, jadi punya banyak referensi. Banyak koneksi tuh buka jalan banget. Dan akhirnya ketika impact-nya sudah berasa, jadi konsisten sampai sekarang.”
Business with a Purpose
Tentunya, membangun bisnis tidak bisa sembarangan. Mari berkenalan dengan Coffee Meets Stocks.
Beberapa dari pembaca mungkin sempat mendengar nama ini atau bahkan mengikuti kegiatan brainstorm, knowledge exchange, dan networking ini. Bisnis yang didirikan di tahun 2019 ini juga tidak berdiri tanpa alasan.
“Waktu itu banyak edukasi investasi, tapi nggak affordable. Itu lima juta sehari. Dan jujur itu isi kelasnya kurang banget. Gue sebel kan, akhirnya gue sama partner gue yang dari Prasmul juga, akhirnya bikin Coffee Meet Stocks.” Jelas pria kelahiran tahun 1993 tersebut. Bermodalkan bertemu di kedai kopi bersama belasan orang saja, perjalanan Coffee Meet Stocks pun dimulai.
Menggarisbawahi purpose di dalam konsepsi bisnis ini, rupanya sudah lama terpatri di dalam diri Theo semasa berkuliah di Prasmul.
“Yang menurut gue yang paling bagus dari Prasmul, adalah kita diajari framework berpikir, nggak boleh ‘biasa aja’. Kalau bikin bisnis, pasti ditanya kan, apa competitive advantages-nya? Apa USP-nya? Biarpun ngomong presentasi banyak yang dikarang, tapi tetep harus ada yang diriset. Menurut gue itu penting sih, karena itu jadi terbawa. Jadi tiap kali mau mulai sesuatu jadi mikir. Ini membuat bisnis atau bahkan standar diri kita jadi baik, bukan jadi pedagang yang asal mulai.”
Dan lagi-lagi, Theo menekankan pentingnya menjalin jejaring: Menjalin network, selain menambah kenalan dan kesempatan, juga menambah skill.
“Prasmul itu penuh dengan orang-orang berada. Waktu gue kuliah, gue jualan, mereka beli tuh bisa bikin gue bayar kuliah. Dan gue banyak belajar dari pola pikir dari mereka yang latar belakang keluarganya juga cukup berada. Itu beda lho cara mikirnya,” ucap Theo yang sudah pernah berbagi di platform CNBC, Creator Week Conference, dan MaknaTalks.“Anak Prasmul, tahu gimana cara menjadi diplomatis. Itu real life skill. Mereka bisa merangkul banyak orang, karena network itu sesuatu yang ga bisa lu bayar.”
Add comment