Misperception and Misdirection
Pada saat SMA, apa yang kamu pikirkan mengenai jurusan? IPA? IPS? Bahasa? Mana yang akan kamu ambil?
Pertanyaan ini tentu menjadi sangat “seram”, karena menyangkut erat masa depanmu. Dari keluarga pun, biasanya akan punya “keinginan” sendiri–yang perlu dipikirkan walaupun tidak harus diikuti.
“Waktu itu kan IPS mungkin dianggap kaum proletar lah, orang-orang yang nggak pintar dilemparnya ke IPS. Tapi waktu itu saya dengan kesadaran pribadi malah maunya ke IPS. Nah, waktu milih kuliah itu mulai pertentangan batin lagi karena secara tidak langsung keluarga mau masuk teknik, kedokteran.” ungkap pria yang akrab dipanggil Aditiyo saat mengenang masa SMA dan kuliahnya. Setelah mencari-cari referensi soal jurusan di kampus – mulai dari psikologi, hukum, Fisipol – Aditiyo akhirnya memilih jurusan yang menurutnya bisa bikin kaya: Akuntansi.
Tapi, waktu itu ia berhasil masuk jurusan S1 Akuntansi Universitas Indonesia … hanya saja, tidak pada percobaan pertama.
“Saya akhirnya ambil Studi Pembangunan, saingannya sedikit. Pokoknya yang penting saya masuk dapet benderanya FE UI dan waktu itu masih bisa pindah. Tahun kedua baru saya pindah ke Akuntansi,” jelas pria yang juga merupakan Career Coach tersebut.
Setelah lulus, kebimbangan perkara masa depan masih berlanjut. Meski sebelum lulus sudah bekerja di Schlumberger Indonesia sebagai akuntan, rupanya jalan karier tersebut bukan untuk Aditiyo.
“Waktu saya kerja akuntansi selama sebelas bulan, setiap Jumat pulang kerja saya pasti kumpul bersama teman-teman, have fun aja. Setiap Jumat sampai Minggu siang bahagia. Tapi minggu after lunch, saya selalu sakit perut karena mikir besok mesti kerja lagi.”
Setelah sadar kurang cocok bekerja di bidang akuntansi, Aditiyo memutuskan untuk mengubah haluan. “Akhirnya mutusin mau resign, tapi juga nggak asal resign. Akhirnya saya mau lanjutin S2 dan masuk Prasetiya Mulya, berusaha mengejar yang saya pikir passion saya: Marketing.”
Singkat cerita, Aditiyo merasa puas dan senang dengan pilihannya untuk mendalami Marketing di Prasmul. Ditambah, alumnus FEB UI ini menyukai public speaking dan tampil di depan umum. “Prasmul yang bisa bener-bener mengakomodasi jiwa banci tampil saya, karena saya suka banget presentasi.”
Singkat cerita, “2006-2015, saya di korporasi, di multinational company, perusahaan lokal saya cuma satu Kalbe Nutritional.”
Walk the Career Talk
Setelah nyaris sepeuluh tahun menghidupi dunia korporat di berbagai multinational company, lika-liku jalan karier Aditiyo juga membuka peluang lain, seperti yang sudah disebutkan: sebagai Career Coach.
“2015 saya keluar, jadi perjalanannya emang nggak semuanya lancar-lancar aja ya. Saya pernah nganggur tiga kali juga,” Alumnus SMAN 8 Jakarta tersebut menyebutkan. Namun, berkat koneksinya dari Prasmul, 2016 awal ia bertemu teman-teman sejawat saat S2.
“Bikin perusahaan dan dari situ juga pengalaman bikin startup, dimana akhirnya saya juga handle semua bidang. Dari operation, marketing, sales, HR, semuanya saya handle dan core-nya sih saya masih di account management, jadi client-client besar saya juga yang ngadepin. Akhir-akhir ini saya lebih banyak berkecimpung di dunia pengajaran, training. Saya dipanggil perusahaan, saya dipanggil sama kampus-kampus. Dan ternyata saya enjoy banget di dunia ini. Pencarian passion ini tuh berproses banget sih.”
Dari segudang pengalaman ini, muncullah segudang tips dan advice yang Founder Komunitas Sekolah Karir ini rangkum untuk para freshgraduate, baik dari jenjang S1 maupun S2.
- Interpersonal Skills
“Jangan cuma merasa functional skill saya sudah hebat, bidang saya udah jago. Itu enggak ada apa-apanya kalau di dunia nyata kalau kamu enggak punya interpersonal skills,” sebutnya.
- Skill “Jual Diri”
“Yang kedua, selling skill, termasuk selling yourself. Contohnya CV. Saya punya CV sampai 5 halaman pun masih dipanggil.” Aditiyo menyebut beragam tren CV yang sempat merebak di kalangan anak-anak muda, mulai dari panjang, estetika, dan aspek-aspek lain. Padahal, “CV itu harus based on content, harus ada nilai jualnya, harus bisa bercerita apa saja tugas dan achievement-nya.”
- Be Adaptable!
“Di sekolah selalu diajarin gimana caranya sukses, dengan berencana, padahal rencana itu dalam dunia nyata enggak selalu dijalankan.” Ia mengambil contoh, business plan yang disusun saat berkuliah di Prasmul. “Pasti enggak 100% sesuai rencana, pasti ada improvisasi. Kita harus belajar mitigasinya juga.”
- Don’t Look!
“Terakhir, jangan ngikut orang karena suksesnya orang itu beda-beda, saya dulu pemburu rupiah dan jabatan tertinggi, karena dunia membentuk bahwa sukses seseorang karena gaji atau income tinggi atau jabatan tinggi.” ceritanya. Setelah berefleksi, ternyata keinginan Aditiyo sesederhana bisa hidup tenang dan bahagia dengan apa yang ia lakukan.
“Saya udah naik gaji berapa kali, saya dikasih company car berapa kali, itu cuma menyenangkan 1-2 bulan, sisanya enggak ada, biasa-biasa aja, tapi when you are doing what you love, itu yang bikin asik.”
Add comment