Tahun 2025 mendatang, diprediksi mahasiswa akan mencapai 262 juta sehingga akan terjadi persaingan begitu ketat antara mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa asing. Kondisi ini akan mempengaruhi perguruan tinggi yang menjadi tempat menimba ilmu para mahasiswa. Pengaruhnya cukup besar dari persaingan ilmu dan sumber daya ataupun restrukturisasi perguruan tinggi yang akan terjadi secara massif.
Untuk menjawab kekhawatiran tersebut, Universitas Prasetiya Mulya bersama dengan Persatuan Guru Besar Indonesia (PERGUBI) menggelar seminar nasional yang bertemakan Pembaruan Pembaruan Pendidikan Tinggi di Indonesia pada Kamis, 30 Maret 2017 lalu di Universitas Prasetiya Mulya, Kampus Cilandak.
Menurut Prof. Djisman S. Simandjuntak Rektor Universitas Prasetiya Mulya yang pada acara ini menjadi pembicara utama, Perguruan Tinggi di abad ke-21 harus multidisipliner. “Mengapa multidisipliner? Semua persoalan besar yang dihadapi manusia, tidak bisa dipecahkan dengan satu disiplin ilmu saja. Pemecahan masalah harus multi-disiplin. Solusinya, harus ada kolaborasi berbagai disiplin,” kata Prof. Djisman.
Lanjut menurut Prof. Djisman, pendidikan abad ke-21 juga penting bila berjiwa kewirausahaan. “Kita di pendidikan tinggi sudah biasa melihat, kita ini menjadi suluh dalam perjalanan. Tapi menurut saya, (peran) kita lebih dari itu, kita pekerja, bukan pemegang obor. Maka kita perlu merumuskan ulang Tri Dharma kita. Salah satu tanggung jawab perguruan tinggi abad ke-21 adalah katalisasi bisnis, perintisan usaha. Maka di Prasetiya Mulya mempunyai Wakil Rektor 4 yang salah satu tugasnya adalah membantu perintisan dunia bisnis,” ujarnya.
Prof. Djisman menegaskan, persaingan yang semakin ketat dan dunia industri tumbuh semakin maju maka tidak ada pilihan lain bagi pendidikan tinggi untuk dual (berkolaborasi) dengan dunia usaha. “Perlu dualitas. Gymnasium di Jerman sudah dikelola secara dual. Di Indonesia sudah waktunya untuk merintis usaha menjadi bagian penting dari Dharma perguruan tinggi. Kita bisa menyebutnya Dharma ke-4, tapi bisa juga kita sisipkan dalam Dharma pengabdian masyarakat,” ujarnya.
Tantangan Sekitar
Senada dengan Prof. Djisman, Dirjen Kelembagaan IPTEK dan Dikti Dr. Ir. Patdono Suwignjo yang juga menjadi pembicara utama seminar ini menjelaskan bahwa dulu perguruan tinggi diharapkan menghasilkan lulusan yang berpendidikan alias lulus sarjana sudah cukup. Harapan masyarakat berkembang, lulusan diharapkan menjadi agent of education and agent of Research & Development. Sekarang, harapan berkembang lagi, lulusan sarjana diharapkan menjadi agent of economic development,” imbuhnya.
Lebih lanjut Patdono menambahkan, “Bahkan kini sudah berkembang berinovasi untuk mengendalikan ekonomi suatu negara. Namun demikian, keinginan tersebut memerlukan kerja keras. Karena berdasarkan data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDPT), jumlah Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia mencapai 4.529, jauh dibandingkan dengan negara di Eropa. Unggul dalam jumlah, tidak dalam hal mutu,” ujarnya.
Menurut Patdono, Pemerintah memberikan tugas pokok pada IPTEK dan Dikti dua hal. Pertama, perguruan tinggi diharapkan menghasilkan tenaga kerja yang kompeten. Kedua, terus menghasilkan inovasi-inovasi.
Dengan adanya seminar ini, Patdono berharap adanya masukan-masukan baru untuk Pemerintah dan Dikti terkait pembaruan Tri Dharma Pendidikan Perguruan Tinggi di Indonesia. Masukan untuk Pemerintah dan Dikti tersebut, nantinya diharapkan dapat membawa perguruan tinggi di Indonesia semakin baik dan layak bersaing dengan perguruan tinggi luar negeri unggulan.
Angin Segar Tri Dharma Pendidikan
Seminar Nasional ini dihadirkan dalam lima track dengan membahas beberapa topik antara lain, Pembaruan Peran Pendidikan Tinggi Indonesia, Pembaruan Pendidikan di Perguruan Tinggi, Pembaruan Penelitian dan Publikasi di Perguruan Tinggi, Pembaruan Pengabdian Masyarakat di Perguruan Tinggi, dan Pembaruan Peran Dosen dan Guru Besar.
Prof. Yudi Samyudia Wakil Rektor I Bidang Akademik Universitas Prasetiya Mulya sekaligus pembicara dalam topik ‘Pembaruan Penelitian dan Publikasi di Perguruan Tinggi’ mengatakan bahwa, insentif yang kadang menjadi tujuan sebuah penelitian tidak akan membantu menciptakan kultur penelitian.
“Dana riset hendaknya diberikan pemerintah ke universitas, lalu universitas mendistribusikan dalam bentuk insentif, tunjangan atau infrastruktur riset sehingga bukan hanya akademisinya yang dapat insentif, tapi infrastrukturnya juga berkembang,” ujar Prof. Yudi.
Lain halnya pada topik ‘Pembaruan Pengabdian Masyarakat di Perguruan Tinggi’, Prof. Rully Indrawan menjelaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi harus bermuara pada kesejahteraan masyarakat. “Pengabdian masyarakat harus sinergi dan tematik. Terikat pada kebutuhan masing-masing daerah atau kebutuhan masyarakat sekitar,” imbuhnya.
Menurut Prof. Johni Najwan, salah satu pembicara dalam seminar nasional ini, “seminar ini sebagai masukan dari berbagai pakar, menghadapi persaingan di waktu mendatang. Sistim pendidikan harus ada pembaruan yang disesuaikan dengan tujuan berbangsa dan beretika,” ujarnya. (*DDN)
Add comment