Association of Asia Pacific Business School (AAPBS) 2015 baru saja mempertemukan sekolah-sekolah bisnis di kawasan Asia Pasifik lewat AAPBS Academic Conference 2015 yang digelar oleh Prasetiya Mulya Business School dan SBM ITB sebagai tuan rumah di Nusa Dua, Bali. Sebanyak 80 peserta dari 14 negara di kawasan Asia Pasifik berbagi pengalamannya tentang inklusivitas dan keberlanjutan dalam konferensi akademis ini. Mereka membahas isu “Re-Encoding Inclusive and Sustainable World Development into Strategic Corporate Agenda of Asia Pacific” dalam rangka menyikapi gejala kesenjangan ekonomi dan tanda-tanda pembangunan yang tersendat.
Selama dua hari (14-15 Mei 2015), konferensi ini berhasil mengumpulkan berbagai elemen-elemen inklusivitas dan keberlanjutan hasil kolaborasi akademisi, pemerintahan dan praktisi di bidang bisnis. Elemen-elemen seperti integritas, kepercayaan, keberagaman, kerjasama, perhatian pada manusia dan lingkungan hidup menuntut kerjasama antara sekolah bisnis dengan perusahaan, pemerintah, dan komunitas. Kolaborasi antar semua elemen diharapkan bisa membalikkan tren semakin lebarnya kesenjangan, kelangkaan sumber daya alam dan pengembangan modal manusia di negara-negara Asia Pasifik.
Prof. Djoko Wintoro , Ketua Prasetiya Mulya Business School , pembicara pertama pada sesi pembukaan menjelaskan bahwa model sekolah bisnis berbeda dengan model CSR. Sekolah bisnis, lanjut Djoko, lebih menekankan pada nilai-nilai kebersamaan dan peran dalam pemberdayaan kaum yang tertinggal dimana dalam hal ini mahasiswa berperan sebagai produsen, konsumen, dan entrepreneur. Model inklusif ini berkebalikan dengan model ekslusif yang masih digunakan beberapa institusi pendidikan di mana perbedaannya terletak pada prioritas perhatian kepada kepentingan sosial sedangkan model ekslusif hanya memikirkan untuk bertumbuh sendirian.
“Sekolah bisnis mempunyai peran penting dalam mengajarkan model bisnis inklusif yang memasukkan kaum yang tertinggal ke dalam nilai perusahaan. Sementara itu, perusahaan berperan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus ketertarikan sosial masyarakat. Kesenjangan sosial harus diperbaiki mengggunakan model kolaboratif ini,” ujar Djoko yang juga menjabat sebagai Penasihat Komite AAPBS Academic Conference 2015.
Pembicara selanjutnya, Armida Alisjahbana, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional RI lebih menyoroti penerapan inklusivitas dan keberlanjutan dalam konteks kebijakan pemerintah. Armida menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan investasi dalam hal inklusivitas dan pembangunan berkelanjutan dengan cara memperkuat pilar sosial dan lingkungan. Pada prakteknya, lanjut Armida, pemerintah dapat menyediakan akses yang berlaku universal untuk layanan masyarakat yang mendasar melalui kebijakan publik dalam investasi yang fokus pada pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, ketahanan energi, keamanan, dan pelindungan terhadap lingkungan.
“Indonesia bisa menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan ekonomi dan pendekatan afirmatif dengan turut menyertakan strategi yang pro-lapangan pekerjaan, pro-kemiskinan, dan pro-lingkungan. Penerapan dari strategi dua jalur ini akan memacu pertumbuhan berkelanjutan yang berlandaskan kesetaraan.
Pembicara dari perusahaan di kawasan Asia Pasifik pun turut menyumbangkan pengalaman menerapkan inklusivitas dan keberlanjutan untuk perusahaannya. Jing Hong, Direktur Hillhouse Capital menekankan tiga aspek penting yang seharusnya diterapkan perusahaan untuk bertumbuh. Pertama, adalah kapasitas untuk membangun inklusivitas di antara pertumbuhan. Selanjutnya, perusahaan perlu melanjutkan inovasi dan melanjutkan kegiatan investasi sosial.
Sementara itu, Abdul Hamid Batubara, Presiden Komisaris Chevron Indonesia mengusung 7 nilai inklusivitas dan keberlanjutan, antara lain : integritas, kepercayaan, keberagaman, kerjasama, perlindungan terhadap manusia dan lingkungan, dan performa handal. Hamid menganggap nilai ini perlu diwariskan untuk tetap menghubungkan bisa masyarakat dan menerapkan beberapa program investasi seperti peningkatan akses untuk perawatan kesehatan, peluang untuk mengadakan pendidikan dan training, dan merehabilitasi kehidupan di daerah yang rawan bencana.
“Perusahaan menggarisbawahi bahwa berbuat baik adalah bisnis yang baik. Bisnis dapat dibilang tetap layak kalau ia mampu melayani masyarakat dan juga bisa terus melayani masyarakat bila status perusahannya layak secara ekonomi,” Hamid memberikan kesimpulan.
Dengan landasan yang hampir sama, Biru Peduli Foundation menekankan pentingnya kerjasama melalui program Social Investment yang transformatif, teknologi berbasis komunitas, empati sosial sebagaimana model inklusif dan berlanjut. Ahmad Yuniarto, Founder Biru Foundation mengusung nilai-nilai yang menyentuh perasaan dan pikiran, etis, tanggung jawab, tulus, kepercayaan, transparansi, empati, kepedulian, dan kehadiran. Edwin Soeryadjaya, Chairman Saratoga mengartikan keberlanjutan sebagai ketahanan dari sistem atau proses yang berlanjut untuk jangka panjang dan keberlanjutan hanya bisa dicapai dengan penerapan inklusivitas.
Lewat spirit pembangunan komunitas Asia Pasifik yang sedang giat menunjukkan kekuatannya di kancah ekonomi global, sumber daya intelektual dengan arahan dari AAPBS pada konferensi ini diharapkan mampu menghasilkan pembelajaran konrit sebagai katalis dari inklusivitas dan keberlanjutan bisnis tidak hanya di Asia Pasifik tetapi juga di seluruh dunia..
Prof. George Benwell, Presiden AAPBS, berjanji pada tahun 2015 ini AAPBS dapat melanjutkan perannya sebagai agen kepemimpinan dan keterwakilan sekolah bisnis dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan manajemen dan bisnis di Asia Pasifik. Selain itu, AAPBS juga ingin meningkatkan nilai tambah kepada para anggotanya serta mengangkat profil organisasinya secara global.
“Target utama kami untuk 10 tahun ini adalah reputasi, hubungan yang lebih erat, dan ekspansi yang semuanya dapat dicapai lewat kerjasama yang baik antar anggota.
Add comment