Generalis atau Spesialis? Untuk apa dipikirkan, nikmati saja proses belajar-nya.
Begitulah kata Tutus Widayanti, membagikan rahasia kebahagiaannya dalam menjalani berbagai pilihan. Lewat perjalanan karier lintas bidang dan fungsi, People Engagement and Business Transformation enthusiast ini belajar menemukan jati diri, serta menyadari makna dari pekerjaan maupun kehidupan. Mari berkenalan dengan Tutus!
Turning Point Tutus
Sebelum berkarier, rupanya perjalanan self-discovery lulusan teknik sipil Universitas Diponegoro ini sudah dimulai dari bangku perkuliahan. Menyadari bidang yang diambil bukanlah passion-nya, Tutus tetap berusaha menyelesaikan tugas belajar dan mendapatkan gelar S1 kala itu.
Dari tujuan sederhana, ‘ke luar negeri yang jauh tanpa merepotkan orang tua,’ keberhasilan menjadi duta budaya di pertukaran pelajar Indonesia-Canada menjadi life-changing experience bagi Tutus. “Kalau semula saya tahunya alon-alon asal kelakon, sekarang terlepas dari konsekuensinya, keluar dari zona nyaman memberi saya kesempatan untuk membangun skills dan lebih resilience menghadapi kehidupan,” ungkap Tutus.
Keberanian itulah yang turut menjadi modal bagi eks radio announcer ini, mengampu studi MM Executive di Prasetiya Mulya. “Saya sangat amazed dengan cara Prasetiya Mulya mempersiapkan mahasiswa menjadi business-ready dan professional-ready,” ungkap Tutus. Terlebih, tepat setelah menyelesaikan program matrikulasi, Tutus langsung memperoleh kesempatan mengikuti Graduate Trainee di PT. HM Sampoerna.
“Wah menjalaninya waktu itu luar biasa. Kampus masih di TB Simatupang, kerja di Sudirman, dan rumah saya masih di Bekasi,” ungkap Tutus sembari bernostalgia. “Tapi saya bersyukur bisa menyelesaikannya, karena kesempatan double degree versi saya, belajar, dan bekerja ini menjadi awal perjalanan self-discovery selanjutnya, mengarungi lintas bidang.”
Menemukan Jati Diri dalam Berkarier
17 tahun proses belajar di PT. HM Sampoerna, selama itu pula Peraih 1st Winner Young Marketer Competition wanita pertama ini mengarungi berbagai bidang baru. “Ada 13 posisi yang diberikan kepada saya dan kebanyakan merupakan posisi yang perlu dimulai dari kertas kosong,” ungkap Tutus.
Usai mengabdi selama 10 tahun di bidang marketing, serta 2 tahun di departemen sales, Tutus menemukan 2 topik yang rupanya sesuai dengan dirinya, yaitu engagement and transformation. “Saya senang membuat lingkungan kerja itu nyaman (inklusif) bagi semua orang dari berbagai latar belakang budaya, gender, maupun generasi,” ujarnya. Akan tetapi, saat perasaan nyaman tiba, dilema kembali muncul ketika ia dipindahtugaskan kedepartemen baru, human resource.
“Cukup lama saya mempertimbangkan, karena suka mentok kalau terlalu lama bekerja di belakang meja dan degdegan juga,” ungkap Tutus. Bagaimana tidak, mencapai gelar senior di marketing and sales, tentu eks Ketua Sampoerna Women’s Community ini sudah mengantongi peluang memperoleh puncak karier. “Tapi di sisi lain saya bertanya, ‘sebenarnya saya ini bekerja untuk apa?’ karena kalau untuk mencari uang, saya rasa bukan,” ujar Tutus. “Oh, ternyata saya itu bekerja untuk belajar,” sambungnya. Dari situlah, ibu dua anak ini menerima tawaran berkarier di bidang baru.
Pada akhirnya, pilihan sulit tersebut bukan menjadi penyesalan, melainkan kesempatan untuk belajar banyak hal baru, terutama People, Culture dan Transformasi.
Seberapa banyak ilmu yang kita kuasai, satu yang paling sulit adalah managing people. Bahkan sebelum masuk ke konteks orang lain, ini diawali dulu dengan managing ourselves.
Kini, output pencarian jati diri tersebut Tutus jadikan dasar untuk take action dalam perjalanan hidup selanjutnya. “Nekad berpindah ke Start Up yang memiliki tujuan serupa, yaitu memberikan akses pemerataan kesempatan bagi generasi muda di manapun dan kapanpun telah mengubah mindset saya untuk memberikan peran lebih bagi Indonesia,” kata Tutus.
Sailing with a Map
Melalui perjalanan berkarier lintas fungsi yang terbilang panjang, Tutus mencoba mencari benang merah lewat sebuah pertanyaan memorable, “ketika meninggalkan dunia ini dan ditanyakan pertanggungjawabannya oleh Tuhan, kamu ingin dikenang sebagai apa oleh orang-orang terdekatmu?” Akhirnya, Tutus memvisualisasikan diri dan karyanya, untuk tetap sailing with a map.
Bagi Tutus, proses penemuan jati diri ini bukan terjadi sekali seumur hidup, melainkan proses yang selalu beriterasi.
Setiap ada kesempatan baru, proses self-discovery membantu saya untuk membuat pilihan dengan tepat, serta bahagia dengan pilihan apapun itu.
Sempat merasa terlambat menyadari pentingnya pencarian jati diri, Tutus menutup, “Banyaknya tools seperti Ikigai, Wheel of Life, atau The Golden Circle sudah membuat proses self-discovery menjadi lebih mudah. Karena itu, mulailah untuk memahami diri, agar tetap bahagia menjalani setiap pilihan hidup, serta bermanfaat untuk orang lain.”
Ingin belajar seputar proses Self-Discovery & Transformation bersama Tutus? Silakan kontak melalui Instagram maupun LinkedIn!
Add comment