Era inovasi disruptif ternyata tak luput menyasar jajaran bisnis ritel. Belum lama ini kita menyaksikan beberapa ritel raksasa di Indonesia harus menutup gerai lantaran merugi.
Isu yang sudah mendera pebisnis ritel di Amerika terlebih dahulu ini, kian dirasakan dampaknya oleh para pebisnis ritel di tanah air.
“Pertumbuhan bisnis ritel di Indonesia pertahun 2016 mengalami penurunan menjadi 9%, padahal di tahun 2014 masih dalam kisaran angka dua digit di 14 hingga 15%,” jelas Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (APRINDO), Roy N. Mande dalam acara talkshow Branding Update 2018, pada Rabu (18/7) di Financial Club Hall, CIMB Niaga, Jakarta Selatan.
Acara yang digagas oleh S1 Branding Prasetiya Mulya dan bekerja sama dengan Indonesia Branding Association (IBA) ini menghadirkan pemateri akademisi dan praktisi di bidangnya, untuk membedah solusi yang tepat bagi masa depan bisnis ritel di Indonesia.
Transisi pada daya beli masyarakat
Menurut hasil riset The Nielsen Company Indonesia, penetrasi internet yang luar biasa membuat daya beli masyarakat Indonesia kian mengalami transisi. Dari yang awalnya mengutamakan belanja produk, kini malah mendahulukan belanja pengalaman.
“Dari hasil riset terhadap 1500 responden rumah tangga di Indonesia, konsumen masa kini lebih cenderung menghabiskan dana untuk rekreasi dan gaya hidup ketimbang untuk konsumsi fast moving consumer goods (FMCG),” ungkap salah satu pemateri Krisetiadi Purwanto selaku Product Leadership Director Nielsen Indonesia.
Nampak jelas dibahas dalam Branding Update 2018 dengan tema “Future of Retail” ini, para konsumen yang semakin cerdas menuntut adanya pengalaman yang ‘lebih’ ketika mereka berbelanja.
“Mereka melihat social currency yang akan didapat ketika melakukan pembelian terhadap suatu brand. Peritel harus mengedepankan pengalaman dan interaksi dalam setiap touch point dengan konsumennya,” tutur salah satu speaker Branding Update Jessica Carla selaku Chief Marketing Enabler startup Anterin.
Industri ritel tidak mati, asalkan..
Meski banyak toko ritel yang tutup, terlalu dini untuk mengatakan jika industri ini diambang kematian. Menurut Roy N. Mande, untuk menyiasati industri ritel yang sedang under perform, pebisnis harus mau menyesuaikan bisnis modelnya, “Mall konvensional cenderung sepi pengunjung, sementara new retail seperti mall berbasis lifestyle yang memberikan experience kuliner, hiburan, dan rekreasi semakin ramai dipadati pengunjung. Penyesuaian ini yang harus dilakukan.”
Bukan hanya mengubah bisnis model, melainkan..
Dalam talkshow Branding Update yang dipadati oleh 200 peserta dari jajaran marketer, brand strategist, peritel, dan akademisi, Prof. Agus W. Soehadi selaku Dekan School of Business & Economics Universitas Prasetiya Mulya mengemukakan, peritel juga harus melibatkan faktor luar dalam mengambil keputusan bisnis.
“Teknologi adalah salah satu faktor luar yang harus dikuasai. Bukan hanya menjalankan bisnis secara online dan offline saja, melainkan dibutuhkan omni-channel agar ada interkoneksi aktivitas bisnis secara online dan offline.”
Dalam pemaparan lebih lanjut, Prof. Agus menjelaskan pentingnya menjalankan omni-channel marketing karena konsumen cenderung mengkombinasikan aktivitas di toko online dan offline sebelum melakukan pembelian, “Kadang mereka review produk secara online, lalu ke toko offline untuk membeli. Sehingga kegiatan marketing antara online dan offline yang terintegrasi sangat dibutuhkan.”
Terakhir dan yang perlu diperhatikan, Direktur Jakarta Aquarium Hans Manansang memaparkan perlunya pendekatan personal kepada konsumen, yang selanjutnya ia sebut sebagai EPIC Point. “Ritel harus menawarkan engagement, personalisation, interaction, dan convenience atau EPIC point ke sisi pengunjungnya.” (*VIO)
Sumber gambar:
Add comment