Strategi perang harga umum dilakukan oleh para pegiat bisnis agar bisa memenangkan persaingan dan merebut hati konsumen. Sayangnya, praktik ini justru dinilai mampu menghancurkan ekonomi dan merugikan banyak pihak oleh Harvard Business Review. Tidak sedikit dari mereka yang malah makin terpuruk setelah terjebak dalam situasi ini. Menyadari ketidaksehatan teknik tersebut, Rickson Indra Gunawan Suyanto punya metode andalan. Intip perjalanan kariernya di artikel ini.
Korbankan Waktu Santai Tuk Kuasai Hal Baru
Saat mengawali karir di PT Mitra Integrasi Informatika sebagai Business Trainee, profil Rickson cukup unik dibanding teman-teman seangkatan. Kala itu, mayoritas rekan kerjanya memiliki latar belakang bisnis, berbanding terbalik dengan ia yang memegang gelar sarjana Teknik Industri. Setelah masa pelatihan usai, justru ia menjadi satu-satunya orang yang ditempatkan di divisi Product Marketing. “Waktu itu, banyak rekan yang asalnya dari sisi bisnis, hanya saya yang di-assign ke tim produk, sisanya sales, jadi harus bisa keep up,” Rickson bercerita.
Pemilik bisnis madu ini mengaku melakukan beberapa pengorbanan untuk dapat beradaptasi di divisi baru. Baginya, tiga bulan pertama adalah yang terberat hingga harus merelakan waktu luang untuk dipakai belajar, “Tiga bulan pertama itu paling challenging, harus ada extra effort untuk mempelajari produk, apalagi sejak awal diberi tanggung jawab tiga produk sekaligus, jadi saya harus sacrifice kalau ada teman yang ajak nongkrong.”
Beruntung, setelah masa adaptasi itu berlalu, Rickson merasakan keuntungan jangka panjang dari dedikasi tersebut.
Learning by Doing? Kurang Dong!
Tak hanya belajar secara mandiri, ia juga menyadari bahwa mindset untuk belajar dari pengalaman dan berbincang dengan banyak orang saja tidak cukup. Alhasil, ia memutuskan untuk melanjutkan studi di MM Prasetiya Mulya, “Saya butuh dan cari informasi tentang bagaimana cara meningkatkan revenue perusahaan yang efektif.”
Prasmul berhasil mengakomodir keinginannya tersebut. Bukan hanya pengalaman belajar di kelas, Rickson juga dapat mengimplementasikan ilmu yang baru diajarkan ke pekerjaan. Tak berhenti sampai disitu, ia juga berlatih public speaking dengan banyaknya presentasi di kelas, “Di Prasmul itu kan sering ada tugas yang harus presentasi, saya jadi bisa melatih kemampuan komunikasi, public speaking, yang juga berguna untuk tanggung jawab saya di pekerjaan, yang banyak berhubungan dengan orang.”
Apabila ditanya perihal bagaimana cara ia menimba ilmu, Rickson memang sudah mengarahkan dari awal ilmu apa yang ingin ia kuasai, “Instead of menclak-menclok, saya sudah fokusin untuk belajar satu area sampai benar-benar matang, baru saya menyentuh area lain.” Selain itu, ia sengaja memilih ilmu yang bisa cocok untuk peluang lain di masa mendatang.
Harga Tak Lagi Jadi Masalah
Setelah hampir lima tahun menjajakan produk ke konsumen, pemegang sertifikasi Business Partner Analytics Sales Foundations dari IBM ini merasa harga tak jadi masalah setelah mengetahui kebutuhan setiap konsumen.
Pada kesempatan yang lalu, Rickson bercerita tentang bagaimana ia bisa memenangkan hati konsumen. Ia mencari tahu terlebih dahulu apa yang dibutuhkan oleh calon konsumen, “Pertama, harus berangkat dari kebutuhan, jangan pernah menjual sesuatu yang nggak dibutuhkan konsumen.”
Yang menjadi prioritas adalah kondisi yang dialami konsumen untuk menemukan pain point atau masalah yang sedang dihadapi. Cara ini juga ia pelajari saat di MM Prasetiya Mulya. Baru setelah itu, ia menjadikan keluhan tersebut sebagai alasan bahwa value yang ditawarkan oleh produknya mampu menjawab keresahan calon konsumen. “Dengan kita tahu pain point, kita bisa merangkai value produk mana yang masuk untuk menyadarkan konsumen bahwa mereka butuh produk kita”, ungkapnya.
“Dengan begitu, konsumen tidak akan mempermasalahkan harga”, tutupnya.
Add comment