Charles Tantiono merupakan salah satu sosok dibalik lahirnya Wakacao, beef pepper rice berlabel lokal pertama di Indonesia yang merupakan buah pemikiran lima alumni S1 Business Prasetiya Mulya angkatan 2012.
Wakacao diberi panggung di dunia kuliner oleh masyarakat berkat cita rasa, keunikan maupun word of mouth marketing yang kuat. Hingga saat ini, bisnis yang dinaungi Charles, Echa, Fernald, Andika dan Deninda ini mampu berekspansi menjadi 13 cabang dalam kurun waktu 1 tahun.
Terlihat cepat? pastinya. Namun prosesnya tak semudah membalikan telapak tangan. Tidak semua jiwa muda bisa bertahan ketika dihadapkan dengan peliknya penggodokan bisnis ini dari titik awal hingga sekarang.
Peluh Asa Charles & Tim dalam Mendirikan Wakacao
Charles bercerita, bisnis yang lahir dari project akhir di Prasmul ini berawal karena ketertarikan 5 tim Wakacao terhadap kuliner beef pepper rice. “Kami berlima memang pecinta beef pepper rice. Sayangnya, sebelum ada Wakacao, menu beef pepper rice cukup overpriced buat kami. Dari situ terpikir, kenapa gak buat bisnis makanan yang kami suka namun dengan harga terjangkau,” jelas Charles ketika ditanya asal usul Wakacao.
Mereka memulai Wakacao dari nol. Berjibaku dalam berkuliah sambil menjaga kedai, melewati pertengkaran berkali-kali dengan masalah yang beragam hingga merasakan lidah kelu karena menghabiskan 4 sampai 5 bulan hanya untuk mencoba resep yang selalu gagal.
Wakacao: sistem kepemilikan kontroversial hingga sukses wujudkan mimpi mama
Berkat usaha yang luar biasa, Wakacao kini sudah bisa menjangkau para penikmat beef pepper rice di daerah Tangerang dan sekitarnya (Alam Sutera, BSD, Bintaro, Gading Serpong, Karawaci), Jakarta (Kemanggisan,Cibubur), Bekasi, Bandung, Jogjakarta dan Gresik.
Ditanya mengenai rahasia dalam ekspansi bisnisnya, Charles menjawab bahwa sampai saat ini Wakacao belum memutuskan untuk membuka sistem franchise. Setiap kedainya murni dimiliki oleh kelima anggota Wakacao. Masing-masing memiliki kesempatan untuk mengelola dan memperluas cabang sesuai wilayah.
“Sistem kepemilikannya memang agak kontroversial, tapi somehow it works. Semua anggota punya kesempatan untuk mengelola dan memperluas cabang, sehingga masing-masing harus multi tasking ngurus segalanya sendiri mulai dari operasional, keuangan, pemasaran hingga pengelolaan SDM,” paparnya.
Usaha merekapun berbuah manis. Bisnisnya laris dipasaran dan tak jarang pengunjung harus antre demi menikmati sepiring beef pepper rice dari Wakacao. Yang membuat makin ‘kacau’, sosok pria penyayang keluarga ini juga tak menyangka bahwa keberadaan Wakacao sekaligus bisa mewujudkan impian Ibunda tercintanya lho!.
Berdirinya Wakacao ini merupakan salah satu mimpi yang aku wujudkan buat Mama…
“Mama punya passion di bidang kuliner dan pengin banget punya usaha makanan. Jadi Wakacao ini sebenarnya salah satu mimpi mama yang aku wujudkan. Disini kami saling kolaborasi dalam besarin cabang Wakacao yang aku pegang. Mama ngurus bagian dapur dan aku di supply chain-nya” ceritanya.
Selalu beri ruang untuk ilmu baru
Alumni SMA IPEKA Sunter ini pantas disebut sebagai Prasmulyan ideal karena ia sukses menunjukkan performa terbaik dalam berbagai bidang yang digeluti. Charles mampu berpijak seimbang diantara karir profesional dan bisnisnya.
Di usia ke 23 tahun, ia tercatat menduduki posisi Supervisor Retail Engagement di Philip Morris Indonesia sekaligus menghandle 2 cabang Kedai Wakacao di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Selama berkuliah di Prasmul, Charles-pun mengantongi berbagai medali kejuaraan, seperti 1st Runner Up International Gadjah Mada Business Case Competition 2016, National Champion & National Best Speaker EURECA Business Plan Competition 2014 dan Indonesia Representative Audi-Robert Walters Global Business Case Challenge 2015 di Jepang.
Peraih beasiswa prestasi dari Prasmul ini mengaku bahwa ia bukanlah seorang perfectionist, melainkan seorang lifelong learner.
Baginya, selalu ada ruang bagi ilmu yang bermanfaat dan selalu ada usaha bagi keingintahuan yang belum terjawab.
“Tingkat curiousity aku sangat tinggi. Aku senang menggali hal baru dan kalau sudah mau tahu satu hal akan kejar terus sampai dapat ilmunya. Bukan tipikal yang perfectionist, tapi asal semua jalan dan sudah kasih performa yang baik, itu udah cukup buatku.” jelas Charles ketika ditemui tim ceritaprasmul pada Sabtu (21/10) lalu.
Karakter Charles terbentuk berkat tempaan kedua orang tuanya. Bungsu dari dua bersaudara ini dididik untuk tak ‘lembek’ karena telah melewati berbagai macam tantangan kehidupan.
“Pada saat kerusuhan tahun 1998, ekonomi keluarga kami turun. Dari situ, aku mulai diajarkan untuk gigih dalam mengejar yang aku inginkan dan berani melawan status quo.”- Charles Tantiono
Hikmah dari kejadian itu akhirnya membentuk pribadi Charles menjadi lebih gigih, berani mencoba hal baru dan selalu berorientasi pada keluarga.
Charles dan Prasmul
Peraih IPK 3.93 ini mengungkapkan, Prasmul bukan hanya sekedar tempat untuk menempa wawasan. Lebih dari itu, disinilah ia menemukan teman-teman lintas budaya yang punya pandangan terbuka dan punya kemauan untuk maju.
“Dari SD sampai SMA, teman-teman sekolahku mayoritas punya agama dan ras yang sama. Pas masuk Prasmul, aku cukup amazed karena orangnya ga hanya diverse secara kultur, agama dan ras, namun punya pemikiran terbuka. Aku dikelilingi teman-teman yang memang punya niat untuk berhasil, pemikirannya inovatif dan koneksinya luas. Kerasa banget dari auranya,” papar pria yang punya passion di bidang Marketing ini.
Charles memandang, Prasmul mampu menghadirkan proses belajar yang komprehensif dan menunjang cita-cita mahasiswanya. “Mau jadi pebisnis atau profesional, semua dibekali ilmu yang lengkap, program beasiswa dan fasilitas yang menunjang.”
Menurutnya, Prasmul juga terkenal dalam menggiatkan mahasiswa untuk berorganisasi dan berkompetisi. Terbukti selama di Prasmul, Charles telah memenangkan lebih dari 10 kompetisi. Alumni Prasmul yang pernah menjabat sebagai kordinator acara di event Indonesia Culture & Nationalism dan Ketua di Inetgrated Communication Club ini merasakan betul manfaat pengalaman berorganisasi dan berkompetisi selama di Prasmul.
“Organisasi akan mengajarkan bagaimana kita bisa berkolaborasi sama ratusan orang dalam satu kepanitiaan, mengembangakan kerjasama dan belajar memberi impact dari acara yang dijalankan. Dari segi kompetisi, kita dilatih untuk punya mental pemenang dan belajar untuk kalah juga. Itu yang di develop juga di Prasmul,” jawabnya.
Meski sudah gemilang di usia muda, sikap rendah hati dan ramah masih terus ia junjung dalam dirinya. Bukan tanpa alasan, karena alumnus Prasmul yang satu ini telah banyak menyaksikan orang yang gagal akibat tak memiliki manner yang baik.
Ia mengatakan “Bisa jadi, kita punya attitude yang buruk karena kita hanya bergaul dengan orang yang status sosialnya sama dengan kita.“ Ia menambahkan “Pesan untuk adik-adik Prasmulyan, jauhkan diri dari sifat sombong, harus pandai bergaul, tidak sering mengeluh dan selalu berusaha memberikan aura positif bagi banyak orang,” tutupnya.
Nah itu dia kisah Charles Tantiono,semoga banyak insight positif yang bisa diambil dari kisahnya ya. Artikel ceritaprasmul berikutnya akan membahas tentang Wakacao, ditunggu ya Prasmulyan!.
Sumber gambar:
Add comment