“Saat ini Luxury Good Industry di dunia nilai bisnisnya mencapai USD 157 Miliar”
Selama ini luxury brand dikenal hanya untuk melayani high class dan upper class. Namun, seiring dengan meledaknya kelas menengah di Indonesia yang sekitar delapan puluh delapan persennya ingin bereksperimen dengan brand, maka Indonesia menjadi pasar yang semakin dilirik. Demikian pula peluang untuk menjadi marketers Luxury Brand di Indonesia sangatlah menjanjikan. Fenomena ini disampaikan oleh Petty Fatimah selaku Editor In Chief Majalah Femina saat menjadi Guest Lecture matakuliah Lifestyle S1 Marketing pada hari Jumat (22/11) pagi di Auditorium Kampus Prasetiya Mulya BSD.
Di hadapan sekitar tujuh puluh mahasiswa S1-Marketing 2011, Petty mengangkat tema Brand Make News — The Luxury Brands All About. Namun, dalam kuliah umumnya ia tidak langsung menjelaskan tentang Luxury Brand tetapi mengawali sharing tentang Konsep Femina sebagai media lifestyle. Menurutnya, ada dua pendekatan bisnis media lifestyle yang dijalankan Femina Group yakni Business to Consumer dan Business to Business. Contoh media yang Business to Consumer seperti Femina, Cita Cinta, Cleo, dll sementara media yang Business to Business contohnya Estetica – Majalah yang ditujukan untuk usaha salon yang ingin mengetahui trend lifestyle.
Menurut peraih gelar Master Manajemen dari Universitas Indonesia ini, dalam dunia lifestyle, metode pemasarannya unik. Perusahaan bisa menggarap segmen pasar yang sama dengan target yang berbeda-beda tetapi bisa menjadi target yang sama. Ia pun menunjukkan contoh pola konsumsi media-media yang tergabung Femina Group dalam sebuah keluarga.
“Sang suami merupakan pembaca Men`s Health, sementara istrinya membaca Women`s Health tetapi keduanya pun dapat memiliki bacaan yang sama pada Majalah Ayahbunda, Parenting, maupun Reader`s Digest,” ujar perempuan yang mengawali karier sebagai wartawan ini sambil memperlihatkan slide cover-cover majalah Femina Group.
Pembahasan semakin seru saat masuk ke bahasan The Luxury Brand. Petty mengutip sebuah quotes dari Coco Chanel yang menyebutkan “Luxury is a necessity that begins where necessity ends”. Menurutnya, luxury adalah industri yang memproduksi dan menjual barang-barang untuk memanjakan gaya hidup dalam kelas sosial high class & upper class. Ragam neckties, clothes, leather goods hingga shoes masuk dalam kategori ini. Sambil berulangkali menyebutkan nama-nama luxury brand yang pernah diulasnya di media, ia menegaskan bahwa konsumen luxury membeli produk-produk semacam Prada, Rolex, Loius Vuitton, dsb. lebih karena atribusi sosialnya.
Demokratisasi dalam Luxury
Ada pula beberapa istilah dalam Luxury Industry yang dikemukakan oleh Petty. Pertama, dikenal konsep Social Fabric yang menunjukkan bahwa baju pun dianggap dapat menciptakan kelas-kelas sosial. Selanjutnya, konsep demokratisasi yang dikenal lewat ungkapan “to democratized luxury to make luxury accessible”. Terkait konsep terakhir, Petty menjelaskan bahwa rata-rata industri Luxury sebenarnya berawal dari industri rumahan yang didirikan artisan — seseorang yang bisa memproduksi barang-barang ekslusif dengan tujuan kepuasan idealismenya. Namun, dengan adanya keinginan untuk membuka akses sebesar-besarnya untuk memiliki produk ini, maka perusahaan pun melakukan pengembangan dengan melakukan brand marketing yang sangat masif lewat iklan, membuka pasar di semua negara yang dianggap negara kaya baru, dan memasukkan luxury designer ke dalam dunia ritel.
Mengenai tren Luxury Good Industry, Petty memaparkan sebuah data yang menyebutkan bahwa nilai bisnisnya di seluruh dunia mencapai USD 157 Miliar dengan revenue perusahaan per tahun rata-rata mencapai USD 1 milliar. Menariknya, sebanyak 35 persen major brand mengontrol 60 persen bisnis Luxury. Di dunia sendiri, lanjut Petty, saat ini Cina tampil sebagai The New Market dari industri ini sementara Rusia mengalami perkembangan yang sangat signifikan.
Lantas mengapa orang membeli produk Luxury? Menurut Petty motif utamanya antara lain untuk self actualization, mendapatkan kesenangan, rasa nyaman, hingga merasa powerful. Lalu, mengapa orang bisa berubah-ubah selera? Petty menganggap peer pressure dari lingkungan sekitarnya sangat berpengaruh. Lantas, mengapa jutaan orang memakai produk yang sama dan menjadi tren? Petty mengemukakan tentang sentralnya pengaruh trend setter. Menurutnya, kalangan muda, designer, artist, wealthy people, celebrities, gay man, maupun subconscious subculture bisa menjadi trendsetter yang sangat baik untuk memasarkan luxury brand.
Add comment