Sudah menjadi rahasia umum bahwa planet Bumi sedang mengalami krisis iklim dan lingkungan hidup. Aktivis di berbagai penjuru dunia bermunculan membagi kesadaran akan hal tersebut, seperti Greta Thunberg, Vanessa Nakate, dan Xiye Bastida. Namun ternyata, hal-hal kecil yang dilakukan perorangan saja masih belum cukup. Diperlukan upaya dengan skala yang lebih luas. Tahukah kamu apa itu? Jawabannya, ekonomi berbasis ekologi.
Begitulah prolog yang menjadi cikal bakal dari rangkaian Competition for University in Business & Economics (CUBE) 2021. Melalui tema “Social Foundation and Environmental Sustainability (Ecological Ceiling)”, acara tahunan oleh Himpunan Mahasiswa S1 Business Economics tersebut turut dimeriahkan dengan webinar pada Sabtu (10/7) lalu, untuk membedah bagaimana ekonomi dapat memerankan tanggung jawab sosial dan menjaga alam.
Berkenalan dengan Revolusi Konsep Ekonomi
Naik daunnya krisis sosial dan ekonomi yang terjadi akhir-akhir ini memaksa orang untuk memikirkan dan merefleksikan kembali tindakan serta konsekuensi yang mengikuti. Carlota Sanz-Ruiz, pendiri Doughnut Economics Action Lab menyebutkan, bahwa masalah yang ada sekarang diciptakan oleh manusia sendiri, dan berakar dari sistem yang sudah tidak relevan lagi.
Karena itulah, diperlukan sebuah model ekonomi kontemporer dengan perhatian pada konsep sosial dan ekologi, sekaligus menggeser sistem ekonomi yang lama, yaitu doughnut economy.
“The 21st century has been crowded with crises. We are living in the era of climate collapse. And more recently we’re experiencing the harness of the crisis generated by COVID-19.”
Carlota Sanz-Ruiz, Co-Founder and Strategy Lead at Doughnut Economics Action Lab
Secara singkat, doughnut economy adalah ekonomi holistik yang melampaui batas ekonomi tradisional atau masih bersifat human-centric. Konsep yang diperkirakan menjadi model ekonomi masa depan tersebut berbentuk seperti donat, sebagaimana namanya. Lubang donat menggambarkan fondasi sosial, dan lingkar luar donat menggambarkan langit-langit ekologi yang dibatasi oleh sembilan krisis lingkungan, seperti diantaranya perubahan iklim, penipisan ozon, berkurangnya keanekaragaman hayati, serta bertambahnya nitrogen dan fosfor.
“We need to recognize that these crises are showing us that we are deeply interconnected with each other and the living world.”
Tubuh dari ‘donat’ inilah yang menjadi batasan, sejauh mana sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, sehingga muncullah sebuah tempat yang aman dan adil secara sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.
Tilik dan Tiru: Kasus Nyata di Indonesia
Bagaimanapun, konsep yang ideal tersebut tak akan terwujud, tanpa adanya inisiatif para pelaku ekonomi. Pada sesinya, Carlotta Ruiz menyebutkan bahwa Unilever adalah salah satu perusahaan multinasional yang berani maju melakukan perubahan sistem. Hal ini juga dielaborasi oleh Melinda Savitri, selaku Business Unit Head Beauty & Personal Care Masstige (Love, Beauty, & Planet), Unilever Indonesia.
“Ilmu ekonomi mainstream yang kita pelajari itu, didasarkan atas individualisme metodologi, yaitu maksimalisasi dan minimalisasi yang masih melihat kepentingan individual. Perusahaan pun terproyeksi dari kepentingan individualisme,” ungkap Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Prof. Djisman S. Simandjuntak. “Semua ini needs to be unlearned, this myopia. Unlearning this individualistic approach adalah langkah yang perlu untuk menghargai konsep holistik seperti doughnut economy itu.”
“We believe that sustainability is at our core,” papar wanita yang sudah berkarier selama 11 tahun di Unilever tersebut. Inti sustainability yang dimaksud Melinda adalah mengurangi limbah dan penggunaan air, menciptakan produk yang ramah lingkungan, menggunakan bahan secara bertanggung jawab, membatasi jejak karbon, serta bermitra dengan organisasi yang melindungi bumi.
Dalam mewujudnyatakan konsep sustainability tersebut, sambil melihat pada kebutuhan konsumen, perusahaan dapat melakukan sebuah inovasi ekologis seperti Unilever lewat green beauty brand garapannya, Love, Beauty, & Planet.
“Whatever we do, we must do good for beauty and give a little love to the planet.”
Melinda Savitri, BPC Masstige Business Unit Head, Unilever Indonesia. (Sumber foto: Pinterest)
Representatif dari perusahaan FMCG terkemuka ini turut menjelaskan, bahwa penting untuk mulai mengadaptasi sistem, serta pola pikir ekonomi yang ramah lingkungan. Sebab, Indonesia sendiri sudah mengadaptasi tiga krisis lingkungan global, yakni limbah, terumbu karang, serta jejak karbon. “Because of the urgency, we need to make sure that we act now,” simpul Melinda, sekaligus menutup sesi seminar dari Unilever sebagai case provider.
Add comment