Lahir di dunia yang sudah terkoneksi, Internet, gadget, dan teknologi canggih bukan merupakan sebuah kemewahan bagi Generasi Z, melainkan sebuah lifestyle. Mencari dan menemukan informasi hanya memerlukan beberapa swipes dan taps, jadi tak mengejutkan jika generasi tersebut memiliki kecedasan yang spesial, bahkan melebihi figur guru dan orang tua mereka. Ironisnya, walaupun generasi ini terhubung melalui smartphone, tablet, dan laptop, mereka seakan tidak terkoneksi dengan kehidupan nyata. Faktanya, Gen Z di Indonesia menghabiskan hampir 70% waktu mereka di depan layar!
Inilah yang disampaikan oleh Dr. Syam Surya, salah satu peneliti DQ Institute, di ajang Headmaster Gathering pada hari Selasa (17/6) di JW Marriott, Kuningan. Dihadiri oleh puluhan Kepala sekolah SMA dari Jabodetabek, kegiatan ini bermaksud untuk menekankan pentingnya pengembangan kecerdasan digital pada generasi penerus bangsa. Hanya saja, bagaimana generasi yang tidak tumbuh di era digital dapat membimbing generasi terkoneksi tersebut? Di sini, DQ atau Digital Quotient, diperkenalkan.
DQ adalah serangkaian kemampuan sosial, emosional dan kognitif yang memungkinkan individu untuk menghadapi tantangan dan beradaptasi dengan tuntutan kehidupan digital. Kecerdasan ini penting ditanamkan pada Gen Z agar mereka bisa hidup sejahtera di era digital.
“Kita perlu tahu dan sadar, bahwa sistem tidak bisa dibasmi dengan sistem,” ujar Dr. Syam. “Kalau ada platform anti-bully, orang dapat dengan mudah membangun platform anti-anti-bully. Cara terbaik untuk mencegah unsur negatif di dunia digital adalah dengan mendidik pemakainya.”
Berdasarkan penelitian di DQ Institute, ada 8 digital skills yang perlu dikuasai Gen Z agar mereka dapat menjadi masyarakat digital yang bertanggung jawab. Digital Emotional Intelligence dapat menanamkan rasa empati, kesadaran sosial, serta mengatasi problem digital seperti online bullying. Digital Identity membantu pengguna Internet untuk menciptakan branding bagi dirinya sendiri dan menghindari adanya krisis identitas. Digital Literacy mendukung critical thinking para user agar lebih bijak dalam memilah informasi berguna.
Melengkapi skillset tersebut adalah Digital Security, Digital Communication, Digital Rights, Digital Safety, serta keterampilan yang paling diutamakan di Indonesia, Digital Use. Menanamkan skill ini, Gen Z akan mampu mengatur waktu penggunaan Internet, mengurangi screen time mereka dalam sehari, serta lebih terhubung pada kehidupan nyata dibanding maya.
Dari sisi pembimbing, terutama dari sekolah dan orang tua, adanya pergeseran peran. Tak lagi menjadi sumber informasi, para guru harus menyesuaikan diri dengan otak Gen Z yang serba digital dan serba cepat. Selain menjadi fasilitator dan pendukung, pengajar harus mampu mengantisipasi ilmu apa yang dimiliki siswa-siswinya.
“Materi Headmaster Gathering hari ini sangat menarik,” tutur Dani M. Ramdani, perwakilan dari SMA Insan Cendikia Madani BSD. “Kami sebagai pendidik selalu khawatir mengenai penggunaan gadget para siswa-siswi. Melainkan menolak dan mengecam teknologi, memang harusnya ada pendidikan yang diterapkan di sekolah mengenai kecerdasan digital.”
Noor Khoirudin, Kepala Sekolah SMA Islam Al Azhar BSD, menambahkan, “Para pengajar harus mampu beradaptasi dengan keterampilan digital murid mereka. Bagaimana mau menjual ilmu bila tidak punya barangnya? Kita harus memahami kebutuhan siswa.”
Secanggih apapun perkembangan teknologi, pendidik dan orang tua akan selalu menjadi figur utama dalam membentuk generasi muda jadi warga yang cerdas, bertanggung jawab, dan bijak. Nah, apakah kamu salah satu orang yang memiliki kecerdasan digital tinggi?
Add comment