Coba perhatikan billboard yang ada di sekitar Anda atau saksikan sebuah iklan di YouTube, apakah mereka secara eksplisit mempromosikan keunggulan produk? Kemungkinan besar tidak. Melainkan memberikan daftar alasan mengapa Anda harus membeli produk tersebut, iklan zaman sekarang biasanya menonjolkan satu cerita yang dapat mencerminkan sebuah perasaan, emosi, atau pengalaman.
Seperti yang disampaikan oleh Almira Shinantya di ajang Inspiring Business (IB) Talk pada hari Selasa (14/5) lalu, itulah pendekatan yang berusaha diterapkan oleh perusahan-perusahan era Industri 4.0 dalam rangka membesarkan nama. Berlangsung di FEAST by Kokiku, Gunawarman, kegiatan IB Talk yang dibuka untuk umum ini bertajuk “Striking a Balance among Strategy, Technology, and People”.
Selaku Managing Director DM ID Group, Almira menjelaskan bagaimana perusahaan dan bisnis masa kini harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman guna melayani konsumen dari generasi Z serta Milenial. Caranya? Dengan menciptakan sebuah narasi melalui branding.
Identitas Branding Serupa Dengan Manusia
Pekerjaan saya sehari-hari adalah membuat cerita. Bagaimana sebuah perusahaan dapat terkoneksi secara emosional dengan target market.
Almira Shinantya, Managing Director DM ID Group
Menurut Almira, branding merupakan sebuah persepsi di benak masyarakat terhadap suatu perusahaan atau bisnis yang dibangun melalui storytelling. Wanita dengan latar belakang desain grafis ini turut menambahkan bahwa seperti manusia, sebuah merek memiliki tiga identitas kuat, diawali dengan mind identity.
“Tiap manusia pasti punya jati diri, value hidup,” kata Almira. “Begitu juga sebuah brand, ada nilai yang ia junjung dan ingin dikomunikasikan ke orang luar.”
Berikutnya Almira menjabarkan behavior identity, yakni bagaimana nilai hidup seseorang dicerminkan dari perilaku mereka. Dalam perusahaan, hal tersebut dilihat dari interaksinya dengan pihak internal, eksternal, serta stakeholders. Selain itu, lingkungan yang diciptakan, semisal dalam sebuah restoran, juga menggambarkan perilaku sebuah brand.
Kemudian, mencakup logo, warna, dan imagery, visual identity menjadi butir terakhir yang disebut Almira. “Tiga identitas tersebut harus bertemu dan sejalan untuk menciptakan sebuah narasi yang komprehensif serta jujur,” ungkapnya.
Cara Baru Konsumen Menentukan Produk
Kepada peserta IB Talk, Almira mengatakan bahwa masyarakat hidup di dunia yang paralel, di mana orang dapat bekerja di bidang yang sama dan menghasilkan ide yang serupa. Desain dan jenis produk di pasar pun mirip antara satu dengan yang lainnya, sehingga kreativitas serta inovasi terus dituntut dari perusahaan. Branding menjadi penting karena dapat memberikan diferensiasi terhadap suatu produk, hal baru yang dapat ditawarkan kepada konsumen.
Sebuah perusahaan, baik yang sudah berdiri sejak lama maupun startup, harus tahu cara beradaptasi tanpa kehilangan core value.
Pergerakan teknologi pun turut berkontribusi pada transisi shopping habits konsumen. Melainkan beranjak ke mall, pengguna teknologi dapat online-shopping dari kemewahan kamarnya. Di atas itu, platform-platform seperti online marketplace dan transportasi online meningkatkan peran “consumer” menjadi “prosumer”.
“Masyarakat menjadi lebih kritis terhadap memilih produk,” Almira memaparkan. “Karena selain bisa mencari info, review, dan perbandingan di internet, mereka pun dapat dengan mudah menginfiltrasi pasar dan menciptakan produk mereka sendiri, misalnya menjadi supir transportasi online, menjual karya seni di marketplace, atau bahkan jual baju di media sosial.”
Karena perihal tersebut, keunggulan fungsional tidak lagi jadi hal utama yang memengaruhi pilihan berbelanja konsumen. Faktor baru yang dipertimbangkan para Milenial dan Gen Z adalah visual serta pengalaman. Almira menerangkan, “Pembeli Anda adalah bagian dari ‘me generation’. Mereka ingin sesuatu yang personal. Sesuatu yang sesuai dengan kepribadian mereka.”
Tanpa branding, perusahaan hanya akan berkompetisi di level price war, suatu konsep yang tidak bisa dijamin keberlanjutannya.
Membangun Koneksi Dari Dalam
Dengan visual dan pengalaman sebagai faktor penentu konsumen dalam berbelanja, branding bertugas untuk melukiskan core value melalui narasi sehingga mereka dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai yang sama. Dari sini, sebuah koneksi emosional pun dapat terjalin antara brand dengan konsumen.
“Tiap perusahaan harus mencari kekuatan dan keunikan mereka masing-masing, lalu membangun koneksi emosional dari situ,” urai Almira. “Apa sih problem yang ingin mereka atasi? Apa purpose mereka? Hal ini perlu disosialisasikan secara jujur.”
Branding could drive a culture. Branding creates loyalty.
Almira mengutarakan, sosialisasi tidak bisa diutamakan untuk masyarakat saja. Tak kalah penting, value dan purpose sebuah perusahaan harus diketahui oleh seluruh pegawai perusahaan untuk memastikan bahwa semua pihak selaras. Memulai dari dalam, para sumber daya manusia akan turut memercayai visi dan misi perusahaan.
“Membuat narasi yang bagus tidak cukup. Semua orang harus berkomitmen pada narasi tersebut, mulai dari staf ke top management,” sarannya. “Sebuah brand harus bisa menggerakkan dan memberikan experience untuk Anda, tim Anda, serta target market Anda.”
IB Talk merupakan kegiatan sharing session yang diselenggarakan oleh Universitas Prasetiya Mulya. Berkolaborasi dengan berbagai universitas, perusahaan dan korporasi, IB Talk menjadi salah satu platform bagi para praktisi dan akademisi untuk giveback kepada masyarakat umum.
Universitas Prasetiya Mulya mengundang Anda menjadi kolaborator IB Talk berikutnya. Silakan menghubungi MCR Prasetiya Mulya via telepon: 021-304-50-500(Ext: 2033) atau email: maidi.helinsha@pmbs.ac.id
Add comment