Menurut rilis yang dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin), terdapat 43,41% industri kecil dan menengah (IKM) pangan di Indonesia. Dengan angka ini, IKM pangan mampu menyerap 4,11 juta tenaga kerja. Akan tetapi, sebagian besar IKM masih menghadapi berbagai permasalahan, mulai dari keterbatasan modal, manajemen yang belum profesional, belum terpenuhinya standar dan legalitas usaha, serta minimnya inovasi yang dilakukan.
Kenyataan inilah yang mendorong Kemenperin, melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah, dan Aneka (IKMA), meluncurkan program Indonesia Food Innovation (IFI) 2020. Direktur Jenderal IKMA Gati Wibawaningsih menyampaikan bahwa IFI 2020 merupakan program akselerasi bisnis bagi IKM pangan agar menuju industri yang marketable, profitable, dan sustainable. Untuk menyukseskan program ini, pihaknya berkolaborasi dengan akademisi.
“Tidak main-main, kami kerja sama dengan akademisi. Karena akademisi ini adalah orang-orang yang benar-benar mengerti secara teknis. Jadi kemampuan anak-anak Indonesia yang sudah cukup bagus ini diarahkan secara lebih tepat lagi,” sebut Gati.
Itu sebabnya, dalam acara peluncuran program IFI pada Senin (24/08/2020), Direktorat Jenderal IKMA turut mengundang Direktur Pembelajaran Universitas Prasetiya Mulya yang sekaligus merupakan Ketua Asosiasi Pendidik Kewirausahaan Indonesia, Eko Suhartanto, Ph.D.
Dalam kesempatan itu, Eko turut memberi insight bersama-sama dengan narasumber lainnya, yakni Direktur IKM Pangan, Barang dari Kayu dan Furniture, Ir. Sri Yunianti dan Ketua Inkubator Bisnis Technopark, UPN Veteran Surabaya, Dr. Edi Mulyadi.
Modal Tidak Hanya Berupa Uang
Dalam acara peluncuran program IFI tersebut, Eko Suhartanto, Ph.D. menyampaikan bahwa modal untuk berbisnis tidak melulu berupa finansial. Oleh karena itu, keuntungan yang didapat peserta program ini tidak terbatas pada uang tunai. Menurut Eko, terdapat modal lain yang tidak kalah penting, seperti industrial, personal, sosial, dan budaya.
“Modal industrial adalah pengetahuan akan industrinya, dalam hal ini industri pangan atau food business. Demikian juga dengan modal sertifikasi yang terkait dengan industri, itu juga disebut sebagai modal industrial. Itu nanti akan dibantu, dibesarkan, melalui program IFI ini,” jelas Eko.
Modal personal mencakup keterampilan, karakter, dan attitude dalam berbisnis. Sementara itu, modal sosial berkaitan dengan relasi atau networking. Menurut Eko, dengan memiliki modal sosial, pebisnis bisa mendatangkan modal-modal lainnya. Sebagai contoh, ketika suatu bisnis kekurangan modal finansial, pemilik bisnis memiliki link menuju investor yang sedang mencari modal personal dan industrial. Dengan demikian, mereka dapat berkolaborasi dalam menjalankan suatu bisnis.
Modal terakhir yang tidak kalah penting adalah modal budaya. Pebisnis harus memahami karakteristik budaya tempat mereka beroperasi. Kelima modal ini yang akan ditingkatkan dan menjadi rangkaian kurikulum yang telah disusun Eko dan tim.
Inkubator Bisnis dan Teknologi Turut Berperan
Selain aspek modal, pendampingan dari inkubator bisnis dan teknologi sangat dibutuhkan. Sebab, menurut Edi Mulyadi, seringkali pengusaha baru tidak memiliki business plan yang terukur sehingga berimbas pada action plan yang tidak jelas.
“Peran inkubator tidak hanya menyediakan PIC, tapi di dalam inkubator itu ada coaching dan mentoring. Dan mentor yang ada di inkubator, biasanya mereka berasal dari tenant-tenant yang sudah sukses,” terang Edi.
Inkubator juga membantu dalam segi pemenuhan legalitas usaha dan izin edar suatu produk. Menurut Edi, peran inkubator akan semakin optimal jika dimiliki langsung oleh perguruan tinggi. Pasalnya, hasil-hasil riset yang dilakukan oleh akademisi di perguruan tinggi bisa segera diselaraskan dan dihilirisasi melalui praktiknya di lapangan. Apalagi dalam bidang pangan, riset-riset terus dilakukan untuk memberi kebaruan bagi masyarakat.
Keterlibatan akademisi dari Universitas Prasetiya Mulya dalam pembuatan kurikulum IFI 2020 menjadi bukti keseriusan kampus ini pada bidang entrepreneurship. Selain itu, sinergi bersama pemerintah dan praktisi melalui program ini mencerminkan pentingnya kolaborasi dalam proses pembelajaran.
Add comment