Sudah 92 tahun berlalu sejak para pemuda mengikrarkan sumpah bertanah satu, berbangsa satu, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan. Semangat ini terus dirayakan setiap tahunnya lewat momentum Sumpah Pemuda. Akan tetapi, apa upaya yang harus dilakukan untuk merajut nilai-nilai ini di tengah tantangan perkembangan teknologi yang kian pesat?
Universitas Prasetiya Mulya merespons pertanyaan di atas melalui peringatan Hari Sumpah Pemuda 2020 yang secara khusus diselenggarakan pada Rabu (11/11). Dalam kesempatan yang bersamaan, juga dilangsungkan peresmian Auditorium Harry-Jusuf dan pembentukan Pusat Studi Kebangsaan Universitas Prasetiya Mulya.
Melalui tema “Pemuda-Pemudi Berkolaborasi dan Berkreasi”, Universitas Prasetiya Mulya ingin civitas akademiknya tetap berjiwa muda dan bersumbangsih kepada bangsa melalui kreasi dan kolaborasi.
Peresmian Penamaan Auditorium Harry-Jusuf
Penamaan auditorium yang berada di lingkungan kampus BSD City ini tidak sembarangan. Pasalnya, nama yang dipilih merupakan nama dua tokoh berpengaruh yang menjadi bagian dari cikal-bakal Universitas Prasetiya Mulya.
“Ada dua sosok senior, yang bahkan sebelum terbentuknya Yayasan Prasetiya Mulya, selalu memimpin dan membimbing arah dan tujuan dari perjuangan kita ini. Dua sosok senior ini adalah Pak Harry Tjan Silalahi dan Pak Jusuf Wanandi,” ucap Pak Prasasto Sudyatmiko selaku Ketua Pengurus Yayasan Prasetiya Mulya.
Kedua tokoh tersebut turut hadir dan meresmikan penamaan auditorium dengan didampingi oleh Rektor Universitas Prasetiya Mulya, Prof. Djisman S. Simandjuntak.
Bersatu dalam Keberagaman
Dalam sambutannya, Bapak Harry Tjan Silalahi mengutip perumpamaan Bung Karno dan Bung Hatta tentang sebuah bangsa.
Mereka mendefinisikan Indonesia layaknya sate. “Kesatean Indonesia, kita hadir sebagai individu dengan budaya dan keunikan masing-masing yang “disatekan” dengan satu tusuk yang sama menjadi sate,” jelas Pak Harry.
Pak Harry berharap agar auditorium ini dapat menjadi tempat pengolahan pemikiran serta dipersembahkan kepada bangsa Indonesia. Menutup sambutannya, Pak Harry menegaskan bahwa Indonesia adalah persatuan etis, bukan persatuan etnis. “Itu yang sering kita lupa,” ucapnya.
Sumpah Pemuda Hendaknya Langgeng
Dalam kesempatan yang sama, Bapak Jusuf Wanandi juga menyampaikan, “Sumpah Pemuda bukan hanya tahun 1928, tetapi hendaknya langgeng.”
Napak tilas ke awal pendirian Prasetiya Mulya, ia menjelaskan bahwa tujuan kampus ini sejalan dengan semangat kesatuan dalam Sumpah Pemuda. Kala itu, sejumlah pengusaha tersohor dan akademisi Indonesia, yang terdiri atas etnis beragam, sepakat untuk menunjukkan kontribusinya kepada bangsa melalui pendidikan. Dari sanalah, ide membangun the best business school muncul.
“Prasetiya Mulya berdiri hanya untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan kita. Karena waktu pengusaha besar dikumpulkan, kita diminta oleh Presiden Soeharto untuk memberikan semacam landasan kepada mereka tentang kebangsaan kepada para pengusaha ini,” jelasnya
Momentum untuk Berkreasi dan Berkolaborasi
Perguruan tinggi seharusnya tidak hanya mengutamakan pendidikan instrumental, tetapi juga harus memprioritaskan pendidikan norma dan nilai-nilai yang inklusif dan pluralis.
“Oleh karena itu, Universitas Prasetiya Mulya tidak hanya mempersiapkan lulusannya untuk siap menjalankan usaha atau bisnis yang semata-mata mengejar tujuan komersial, tetapi juga turut aktif berkontribusi memberikan solusi baik bagi lingkungan maupun permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat,” ucap Prof. Agus W. Soehadi selaku Wakil Rektor 1 Universitas Prasetiya Mulya.
Pandangan yang serupa juga disampaikan Prof. Djisman S. Simandjuntak yang merefleksikan kembali makna Sumpah Pemuda bagi Universitas Prasetiya Mulya sebagai momentum untuk berkolaborasi dan berkreasi bagi negeri.
“Kemana kita pergi kalau Internet of Things sudah menjadi desain dominan kehidupan? Artificial intelligence mendekati atau menyamai intelegensi alam yang kita warisi? Pertanyaan akan timbul, bagaimana kebangsaan harus didesain ulang, dirajut terus menerus,” tutupnya.
Add comment