Selain merenggut banyak korban jiwa, pandemi COVID-19 juga memberikan tekanan yang sangat berat bagi perekonomian Indonesia dan dunia. Adanya pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), misalnya, membuat banyak pabrik menghentikan produksi, restoran berhenti beroperasi, hingga seniman pun sulit berkreasi. Akibatnya, angka pengangguran pun meningkat dan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat secara drastis.
Untuk meminimalisir kerusakan dalam bidang ekonomi Indonesia, pemerintah telah mengumumkan paket stimulus fiskal sebesar 2.5% dari PDB Indonesia atau setara 405 triliun rupiah. Dana tersebut diperuntukkan bagi program pemulihan ekonomi (150 triliun), perlindungan sosial (110 triliun), kesehatan (75 triliun), serta insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (70 triliun).
Pertanyaannya, apakah stimulus tersebut cukup untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kerusakan yang permanen?
Inilah yang menjadi bahasan dalam diskusi publik bertajuk “Quantitative Easing Post-COVID-19 to Stimulate Economic Growth”. Dalam acara ini, Dr. Gita Wirjawan, Prof. Djisman S. Simandjuntak, dan Ir. Juan Permata Adoe, MBA berdiskusi mengenai dampak COVID-19 terhadap dunia ekonomi dan kesehatan, solusi untuk menghadapinya, serta gambaran keadaan dunia pasca penyebaran pandemi ini.
405 Triliun Rupiah Sangat Tidak Mencukupi
Data dari BPS menunjukkan bahwa terdapat 130 juta tenaga kerja yang terdaftar di Indonesia, dimana 95% diantaranya berhubungan erat dengan UMKM. Setiap bulannya, jutaan pekerja tersebut membutuhkan pemasukan sebanyak 324 triliun untuk memenuhi kebutuhan hidup harian yang mendasar.
Sayangnya, menurut Gita Wirjawan, adanya PSBB membatasi ruang gerak para pekerja dan UMKM, “Saya bisa mengasumsikan sebanyak 35% pendapatan dari angka 324 triliun tersebut sudah mulai terdampak. Kalau kita mau mengamankan atau memulihkan UMKM, kita harus berpikir bagaimana mereka bisa mendapatkan pendapatan sekitar 600 triliun selama 6 bulan ke depan.”
Tantangan yang berbeda muncul dari perspektif dunia perbankan yang neracanya didominasi oleh sektor UMKM, pengolahan, real estate, dan konstruksi. “Sebanyak 25% debitur kini sudah membutuhkan restrukturisasi kredit (re: penyesuaian yang dilakukan terhadap debitur yang berpotensi kesulitan memenuhi kewajiban),” ungkap Gita. “Jika tidak ada kebijakan yang nyata dan berskala besar, persentasenya bisa naik hingga 40% dalam 2 bulan ke depan.”
Tak hanya itu, dunia perbankan pun harus mengantisipasi kemungkinan terjadinya negative net interest margin dimana bunga yang harus bank bayarkan kepada deposan lebih banyak dibandingkan yang didapatkan dari debitur. Bila hal ini terjadi, perbankan akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, apalagi untuk membayar pajak dan membagikan dividen. “Untuk menghindari skenario negative net interest margin, dibutuhkan 14 triliun setiap bulannya untuk menyelamatkan sisi bank saja, belum termasuk debitur,” jelas Gita.
Indonesia Membutuhkan Quantitative Easing
“Keterbatasan fiskal kita yang nyata, ditambah keterbatasan pemerintah pusat untuk meminjam dari dalam maupun luar negeri, serta adanya kebutuhan yang besar untuk menyambung hidup UMKM menjadikan saya tidak melihat adanya solusi fiskal lain yang mencukupi selain quantitative easing,” ujar Gita.
Quantitative easing atau pelonggaran kuantitatif adalah kebijakan moneter untuk menambah likuiditas perbankan dan mencegah penurunan suplai uang. Langkah ini termasuk dengan menurunkan Giro Wajib Minimum, ataupun pembelian surat berharga negara di pasar sekunder.
Pelonggaran kuantitatif menjadi perdebatan karena dianggap beresiko memunculkan hyperinflation, depresiasi rupiah, serta moral hazard. Ketiga hal ini, bagi Gita Wirjawan, bukanlah hal yang perlu ditakutkan. Menurutnya, hyperinflation tidak akan terjadi jika uang yang ada dikucurkan di tempat yang tepat– dengan UMKM sebagai prioritas– serta hanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.
“Terkait depresiasi rupiah, dengan kondisi Amerika mencetak uang secara banyak dan membuat US Dollar membanjir di pasar Amerika dan dunia, itu akan membuahkan stabilitas mata uang kita dan internasional terhadap USD,” ungkap Gita. Ia pun menambahkan, untuk menekan kemungkinan terjadinya depresiasi, pencetakan uang harus dilakukan secara bertahap.
Gita Wirjawan, Prof. Djisman Simandjuntak, dan Ir. Juan Permata Adoe sepakat bahwa pemberlakuan quantitative easing memunculkan berbagai resiko. Namun, Prof. Djisman berpendapat, “Dalam menghadapi berbagai krisis yang muncul akibat pandemi ini, kita membutuhkan unconventional measures.” Dengan menggunakan cara non-konvensional, pada akhirnya, COVID-19 justru akan memunculkan lanskap dan model bisnis yang menjadi peluang baru setelah berakhir.
Rekaman diskusi publik yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Prasetiya Mulya (IKAPRAMA) ini dapat disaksikan melalui kanal Youtube IKAPRAMA
Add comment