Sebagai lulusan S1 Computer Engineering yang memperkaya ilmu di MM Prasetiya Mulya, Yudi Yu mengaku bersyukur karena kemampuannya untuk berpikir secara detail dan terstruktur sudah terlatih semasa kuliah. Pasalnya, di pekerjaan saat ini, di divisi procurement, keahlian tersebut justru sangat dibutuhkan untuk membuat pekerjaan jadi lebih efisien. Tak hanya itu, soft skills tersebut juga mampu menunjang kinerja perusahaan secara keseluruhan dan pastinya menguntungkan.
Lalu, bagaimana proses Yudi beradaptasi hingga akhirnya menjadi seorang leader? Temukan jawabannya di artikel ini!
Belajar Tak Pandang Usia
Pria yang hobi memelihara ikan koi ini tidak ragu sekalipun ketika memutuskan untuk melanjutkan studi S2 di MM Strategic Management setelah 22 tahun lulus. Alasan yang melatarbelakangi adalah sudah mengumpulkan cukup banyak pengalaman dari beberapa tempat, yang menjadi bekal ketika berdiskusi dengan dosen atau rekan di kampus. “Biasanya, orang habis ambil S1 langsung S2. Tapi, menurut saya momennya justru kita harus punya pengalaman dulu di beberapa tempat sehingga waktu kita S2, kita bisa kasih diskusi yang lebih baik,” ujarnya.
Yudi juga menjelaskan bahwa ia masuk ke MM Prasetiya Mulya di waktu yang tepat, “Kantor saya depannya Prasmul dan kebetulan ada masa yang startup-startup bermunculan, semua orang mau jadi entrepreneur dan pada saat saya masuk itu momen yang pas, orang udah mulai mikirin environment, udah mikirin macem-macem, lebih luas ya understanding-nya.” Di sisi lain, ia juga pernah mendirikan sebuah startup ketika menimba ilmu di Universitas Budi Luhur. Namun, karena masyarakat belum terlalu melek teknologi, Yudi pun memilih untuk tidak melanjutkan bisnis rintisannya dan menekuni bidang teknik yang saat itu sedang didalami.
Tentu, Regional Procurement Manager untuk wilayah Asia Pasifik di Upfield ini tidak kecewa ketika menambah wawasan di Universitas Prasetiya Mulya, “First month after kuliah baru sadar kalau sebagai manusia perlu mengasah wawasan terus menerus. Untungnya bisa dapat wawasan dari industri lain seperti tambang, government, asuransi, finance, dan sebagainya, jadi dapat wider experience.”
Tak hanya itu, hal menarik lainnya juga telah dipelajari Yudi, salah satunya tentang marketing, terutama bagaimana cara untuk melayani konsumen. Ia juga terbiasa berpikir secara sistematis dan berbasis framework ketika menghadapi suatu tantangan. Terakhir, mata kuliah value creation telah membuka matanya, “Ada mata kuliah value creation dan didalamnya ada value analysis yang membantu banget di procurement, punya pemahaman end-to-end, supply chain dan value seperti apa.”
Procurement = Frontliner Perusahaan
Perjalanan Yudi di bidang procurement bermula ketika pihak manajemen meminta bantuannya untuk membeli barang-barang IT, divisinya pada kala itu. Sejak itu, ia kerap diminta juga untuk membantu divisi lain. Dari situlah, pria yang pernah menjabat sebagai Head of Procurement di Suntory Garuda ini mulai terjun ke divisi procurement.
Baginya, bagian ini sangat menarik perhatian karena tanggung jawabnya bukan hanya untuk menawar harga atau mendapatkan harga terbaik, melainkan juga memahami proses pembuatan barang yang hendak dibeli dan menghitung dengan detail biaya yang dikeluarkan. Tak berhenti sampai disitu, ia juga menyadari fakta menarik, “Business yang proper itu the whole company fight against the whole company, artinya sales bisa kompetitif di market kalau didukung oleh kinerja divisi lainnya. Jadi, menurut saya, kompetisinya is all about bagaimana finance kita against finance kompetitor dan procurement kita against procurement kompetitor.”
Secara tidak langsung, Yudi berusaha menyampaikan bahwa procurement adalah garda depan perusahaan selain sales, yang membuat perusahaan bersaing terhadap kenaikan harga atau bisa juga disebut sebagai orang yang terlibat dengan supplier untuk menciptakan inovasi yang membawa value ke bisnis.
Adaptasi Jadi Kunci
Pekerja keras dan family man ini mengaku jika tantangan terbesar dari posisinya saat ini adalah kultur yang beragam. “Negara yang berbeda, tentu punya kultur dan cara kerja yang berbeda. Ada yang very independent, to the point, dan sebagainya, lalu ketemu sama Pakistan, completely the other way,” Yudi menjelaskan. Maka dari itu, ia terus belajar memahami berbagai perbedaan budaya dan kemudian menemukan teamwork yang pas. Ia juga bercerita tentang pengalamannya mengikuti training bertemakan Culture Map, serta bersyukur karena terlahir sebagai orang Indonesia yang sedari kecil sudah terbiasa dengan perbedaan antar SARA. Di sisi lain, communication skills menjadi hal utama yang wajib dikuasai setelah technical skills.
Berbicara soal tips, Yudi menemukan suatu formula yang ia gunakan ketika bertemu dan bernegosiasi dengan orang baru, dengan latar belakang yang berbeda. Pertama, mencari tahu tentang perusahaan atau lawan bicaranya sebelum diskusi dimulai. Kemudian, menjalin hubungan baik dengan pihak tersebut, “Saya arrange call, meet up dengan sebanyak mungkin client untuk sekadar bicara kasual tentang industri mereka.”
Berdasarkan hasil diskusi tersebut, baru lah Yudi menganalisa beberapa poin, mulai dari seberapa besar dan penting perusahaannya di mata klien. Tujuannya adalah untuk menghitung kemungkinan terciptanya win win solution untuk kedua belah pihak. Setelah itu, ia tetap akan menjaga hubungan baik dengan seluruh klien, “Setelah negosiasi, keep relation, practically nggak semua orang melakukan ini. Banyak tim procurement yang bicara dengan klien hanya saat negosiasi atau supplier naikin harga, padahal kita harus bicara, ngobrol, visit pabrik, paling nggak memberi pesan kalau kita ngerti kondisi mereka.”
Terlepas dari langkah demi langkah yang ia lalui untuk dealing with clients, ada satu kata kunci yang selalu ia terapkan yaitu adaptasi. Ia terinspirasi dari quotes Darwin yang mengatakan bahwa orang yang survive di dunia itu bukan yang terkuat, tapi yang bisa beradaptasi.
Add comment