Pembahasan soal kemajuan teknologi bisa saja sering kamu temui di kehidupan sehari-hari. Namun, satu hal yang perlu kamu tahu, ternyata kemajuan tersebut juga berdampak pada bidang finansial.
Tahun 2022 ini, FINference kembali membahas lebih dalam tentang mengenai dampak tersebut dalam konferensi yang dilaksanakan pada hari Sabtu (19/11/22) di Gedung William Soeryadjaya, Universitas Prasetiya Mulya.
FINference merupakan rangkaian acara tahunan program S1 Finance, dengan kegiatan seminar dan workshop (lokakarya) yang berada di dalam naungan Himpunan Mahasiswa Finance and Investment Society (FIS). Dan tentunya, acara ini juga tidak dipungut biaya–menyambut siapapun yang mau menimba ilmu di dunia keuangan dan juga teknologi.
Tajuk FINference tahun ini adalah “Web 3.0: A World With Immense Opportunities”. Senada dengan kalimat tersebut, acara ini mengundang pembicara yang pastinya sudah ahli dan khatam dengan bidangnya masing-masing dalam empat sesi acaranya.
Are You Ready for the Web 3.0?
Meski Web 3.0 sudah lama beredar di kalangan masyarakat, ternyata masih banyak orang-orang yang belum melek teknologi. Maka dari itulah, FINference mengajak masyarakat untuk bersiap dan mampu menghadapi serta memanfaatkan penggunaan teknologi yang ada di Web 3.0.
Di sesi pertama konferensi FINference 2022 ini, Head of Blockchain Solutions Aldi Raharja dan Co-Founder & CTO SerMorpheus Budi Sukmana bernostalgia tentang Web 2.0. Keduanya mengenalkan banyak tentang internet, mulai dari sejarah, konsep, karakteristik, dampak, serta keuntungan dari perkembangan internet Web 2.0 menjadi Web 3.0.
“Kondisi jaringan internet Indonesia saat ini dapat menjadi peluang untuk mengembangkan Web 2.0 dan 3.0,” kata Budi. “Salah satunya ialah perkembangan teknologi finansial sehingga muncul konsultan finansial metaverse untuk membantu pembukuan.”
Inilah mengapa, buat kamu yang tertarik berbisnis atau sudah berpikiran untuk membuka bisnis, bisa mulai cari celah dengan memanfaatkan teknologi Web 3.0. Misalnya, membuat fintech dalam satu detik yang dapat menghasilkan ribuan transaksi, maka tidak perlu memerlukan blockchain (Web 3.0).
Resep Persiapan Matang Menuju Ekonomi Digital
Menurut Founder of Stock Up Kefas Evander pada sesi kedua “Prospective Economy”, agar menjadi top of mind dalam sebuah sektor bisnis, sebuah bisnis harus memiliki value atau nilai. Mungkin untukmu hal ini sulit untuk dilakukan. Namun, nilai inilah yang bakal membuat bisnis dan kepribadian milik kamu berbeda dari yang lainnya.
Di lain sisi, ada juga tiga cara untuk menaklukkan segala kompetitor dalam bidang apapun, menurut Felix:
- Know yourself dan know your team
“Ketahuilah apa keterampilan kita, apa kekuatan dan kekurangan kita, dan apa passion kita,” ucap Felix.
- Know your enemy
“Ketahuilah bagaimana kompetisi dan persaingan yang ada di dalam pasar tersebut. Ketahuilah siapa kompetitor kita dan ketahuilah bagaimana keadaannya,” papar Felix.
- Know your battlefield
“Terakhir, know your battlefield, ketahuilah apa saja cara cara yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan keuntungan,” ungkap Felix.
Into the Technology: Web 3.0
Kemungkinan pasti selalu ada, tetapi bagaimana cara mewujudkannya?
Rahmat Albariqi selaku CEO dan Founder dari Paras Digital pada sesi ketiga “Ways to Earn in Web 3.0” menyampaikan bahwa terdapat beberapa langkah yang perlu ditempuh untuk bisa memonetisasi teknologi Web 3.0.
Pertama, kamu dapat mempelajari teknologinya dan mendalami apa yang bisa didapatkan dari Web 3.0. “Sejak pertama diciptakan, Web 3.0 sudah bersifat global sehingga peluang pasar yang bisa disasar dari NFT yang diciptakan adalah internasional,” ucap Rahmat.
Kedua, Web 3.0 tidak cuma eksklusif untuk lulusan jurusan Computer Science atau ahli teknologi yang berkaitan, tetapi juga untuk semua pihak yang mau belajar.
Ketiga, memaksimalkan NFT. NFT disebut bersifat sebagai gerbang bagi semua pihak yang berkeinginan untuk memasuki Web 3.0 karena sifatnya yang fluid.
Muhammad Wafa Taftazani selaku Co-Founder & Chairman at VCGamers juga menambahkan kalau pemanfaatan Web 3.0 untuk dimonetisasi tidak banyak berbeda dengan bisnis pada umumnya. “Pelaku Web 3.0 make money juga dengan melakukan penjualan barang atau jasa, serta memaksimalkan margin keuntungan,” ucap pria tersebut.
Antisipasi Cyber Security
Kalau menurut CEO dan Founder of CyberArmyID Girindro Pringgo Digdo dan Head of Information Security at GoTo Financial Hana Abriyansyah, perkembangan cyber security di Indonesia masih tertinggal kalau dibandingkan negara-negara regional lainnya.
Di sesi keempat “Anticipate the Ambiguity of Digital Era”, sektor cyber security di Indonesia masih rendah, terlebih tentang kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Terdapat pula Fear of Missing Out (FOMO) yang terjadi pada bidang cyber security karena rasa cemas atas reputasi.
Di era Web 3.0 ini, cyber security lebih sulit untuk diterapkan. Sebab, semua transaksi dalam blockchain dilakukan secara anonim untuk menjaga privasi. “Jika terjadi data breach, biasanya akan timbul ketidakpercayaan pada institusi tersebut dan orang-orang beralih kepada layanan lain,” ucap Girindo.
Sering kali kebocoran data bahkan pembajakan digital ini dapat terjadi karena orang-orang yang mengijinkan data mereka untuk disebar dengan tidak membaca terms and conditions. Karenanya, penting bagi pemerintah dan badan berwenang yang sejalan dengan bidang ini untuk membuat regulasi seperti Undang-Undang (UU) perlindungan data pribadi, dan juga tidak longgar memberlakukan denda ketika ada pelanggaran.
Nah, sekarang kamu tahu bahwa potensi digital security di Indonesia masih banyak karena sekarang masih terpusat. Pemerataan itu perlu agar semua orang mendapat kesempatan yang sama dalam melindungi informasi dan data.
Itulah mengapa, konferensi semacam FINference bakal menambahkan wawasanmu agar semakin akrab dengan kondisi ekonomi global. Jangan lupa mampir ke medsos FINference untuk melihat godokan FINference untuk tahun 2023!
Add comment