Baik itu film horor yang bikin merinding maupun film romantis yang buat baper, pasti semuanya memiliki kisah yang ingin diceritakan. Tiap kata yang ditulis dalam naskah dan tiap gerakan yang dilakukan sang aktor dirangkai sedemikan rupa agar hasilnya dapat menghibur hati para penonton. Namun bagi seorang Syarika Bralini, film bukan hanya jadi sarana pelepas penat. Ia melihat struktur dan pola bercerita, dan bagaimana hal tersebut dapat diterapkan dalam everyday life.
Dalam ajang Sumpah Pemuda 2018: Ragam Inovasi Dalam Mozaik Budaya Nusantara yang diadakan hari Selasa (30/10) lalu di Kampus BSD Universitas Prasetiya Mulya, Ibu Syarika hadir sebagai pembicara untuk bicara soal inovasi. Bukan tamu biasa, produser sekaligus penulis ini merupakan Ketua Komite Tetap Inovasi Industri Tradisional Berbasis Budaya di Kamar Dagang Industri Indonesia (KADIN). Berspesialisasi dalam seni cerita alias storytelling, ia hadir di hadapan Prasmulyan untuk memberikan inspirasi baru dalam membangun karier.
Sang Jagoan dan Tujuan
Ketertarikan Bu Syarika pada seni cerita mengakar pada kecintaannya pada dunia perfilman. “Saya suka banget nonton film,” ia menyampaikan. “Jadi, saya cari cara untuk menonton film sembari membangun karier. Akhirnya waktu itu saya bekerja di Blitzmegaplex (sekarang CVG) sebelum akhirnya mendirikan production house sendiri.”
Menyaksikan ratusan film dalam hidupnya, Bu Syarika menyadari suatu pola berulang. Ia menjelaskan dalam sebuah cerita, pasti ada jagoan (hero) yang ingin mencapai suatu tujuan. Dalam perjalanannya, sang jagoan akan melewati beberapa rintangan sebelum akhirnya mendapatkan keberhasilan.
Di era serba instan ini, orang semakin jadi tidak sabaran. Padahal, proses lah yang membangun karakter dan menjadi kekuatan dalam berusaha.
“Dari awal cerita, yakni di titik A, si protagonist akan memegang sebuah kepercayaan,” Bu Syarika melanjutkan. “Kemudian, ia akan bertemu dengan tokoh antagonis. Figur musuh sebenarnya merupakan cerminan dari sang hero. Setelah itu ia akan mencapai titik B dengan kepercayaan baru. Pasti ada sebuah perubahan.”
You’re the Writer!
Menurut wanita yang juga bekerja sebagai creative consultant ini, pola tersebut telah digunakan selama puluhan ribu tahun oleh berbagai budaya. Menariknya, pola ini tidak hanya ditemukan dalam penulisan skenario saja, tapi juga dalam pidato, novel, perancangan video game, event design, pembuatan aplikasi digital, perangkaian kurikulum, bahkan dalam membentuk model bisnis.
“Pola storytelling dapat kalian terapkan dalam berinovasi,“ saran Bu Syarika. “Jaman dulu, perusahaan melihat dirinya sendiri sebagai sang hero. Sekarang, saatnya mengubah mindset dan menjadikan si konsumen sebagai jagoannya. You’re the writer. Bagaimana cara membawa si jagoan ke titik B?”
Banyak yang salah paham bahwa dalam penulisan, kita harus bebas. Padahal, kreativitas muncul ketika ada batasan.
Bu Syarika kemudian membandingkan pola alami seni cerita dengan perjalanan membangun sebuah bisnis. “Layaknya sebuah narasi, pasti kalian akan menghadapi tantangan atau bahkan mengalami kegagalan. Namun kalian harus percaya bahwa kegagalan itu dibutuhkan sang hero untuk mencapai tujuan akhir.”
Kelemahan Para Penulis
Bekerja di industri perfilman, kelemahan paling umum yang dimiliki penulis di Indonesia pasti tak bisa luput dari Syarika. Ia berpendapat, penokohan karakter masih dapat diperkuat, salah satunya dengan memberanikan diri untuk memberikan sang protagonis banyak cela. Tanpa penokohan kuat, perubahan si hero pada akhir film menjadi tidak terlalu signifikan pada cerita.
“Know your flaws! Hanya dari situ kalian bisa belajar,” tekannya. “Kalian tidak bisa berharap bahwa bisnis kalian akan sempurna dari hari pertama. Pasti ada kekurangan yang harus disadari, diperbaiki, dan diubah. Bila kalian mengutamakan kesenangan pribadi dan tidak mempertimbangkan kebutuhan serta keinginan masyarakat, maka sang jagoan kalian tidak akan mencapai titik B.”
Kehebatan seseorang diukur dari lawannya.
Bukan hanya tips untuk calon pebisnis, Bu Syarika juga memberikan pencerahan bagi mahasiswa yang ingin terjun ke dunia perfilman. Dengan outlet yang kian beragam, seperti bioskop, TV, YouTube, dan berbagai platform streaming, kini semakin mudah bagi para pegiat film untuk mengikuti passion-nya sebagai seorang profesional. Lapangan pun terbuka lebar bagi para creative thinkers.
“Setiap mencari konsep penulisan, saya selalu mulai dari belakang. Perubahan apa yang saya inginkan pada sang hero? Baru dari situ, saya telisik mundur,” Bu Syarika menutup sharing session dengan advis berharga ini.
—
Bu Syarika sukses membuka mata pemuda-pemudi Prasmul bahwa storytelling bukan cuma untuk film, dongeng, atau teater saja, tapi juga merupakan alat universal yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya melihat dari sisi keuangan, penjualan, dan produksi, Prasmulyan kini memiliki sudut pandang yang lebih kreatif mengenai membangun bisnis dan meniti karier. Nantikan inspirasi berikutnya di Ceritaprasmul!
Add comment