Baik dalam memulai atau menjalankan bisnis, tak jarang ada pertanyaan yang menggerogoti benak: Apakah ini jalan yang tepat? Apakah saya dan partner cocok? Apakah produk saya berguna untuk masyarakat?
Hakikatnya, semuanya membutuhkan proses. Cepat atau lambat, seorang pebisnis pasti akan menemukan satu momen signifikan yang menjadi titik balik keraguan mereka. Tak berbeda dengan empat alumni Universitas Prasetiya Mulya berikut ini. Walaupun sekarang mereka melangkah lebih pasti dalam menjalankan bisnisnya masing-masing, mereka pun harus bertemu dengan “momen a-ha” alias momen pencerahan terlebih dahulu.
Bicara Soal Pertumbuhan Bisnis
Elga Yulwardian – CEO Ivosight
Ketika meluncurkan produk software pertamanya, total pegawai Ivosights hanya 7 orang. Ivosights, sebuah platform customer engagement yang berdiri tahun 2017, harus bergantung pada salah satu Co-foundernya, Elga Yulwardian, yang saat itu juga bertanggung jawab untuk menggaji pegawainya dengan pemasukan dari pekerjaan utamanya sendiri. Menurutnya, ini adalah realita pahit dari bisnis startup.
Saat itu saya sangat menderita karena harus memisahkan uang untuk membiayai perusahaan.
Di dunia startup, Elga masih terbilang baru karena hanya satu tahun yang lalu menerima investasi dan memiliki full-team. Namun, di ajang grand launching Program Magister Manajemen New Ventures Innovation Prasetiya Mulya awal Mei lalu, Elga menyatakan bahwa dalam kenyataan, ia telah men-develop perusahaan ini selama tiga tahun, sejak tahun 2014.
Usaha panjang Elga tidak sia-sia. Ia bertemu dengan seorang investor dan kemudian meluncurkan platform kedua, Omni-Channel Customer Service. Dari situ, semuanya berjalan cukup pesat. Di umur 7 bulan, Ivosights menerima penghargaan Top 25 Customer Experience Platform Provider di Asia Pasifik. Lalu lima bulan sejak peluncuran tersebut, pegawai Ivosights bertambah hingga 90 orang. Berkat sang investor, gaji tak lagi jadi beban bagi Elga.
Pengalaman dan kesabaran adalah beberapa kuncinya. Tidak asal mendirikan startup, Elga menimba ilmu di 6 perusahaan berbeda sebelum menemukan kestabilan di Ivosights. Kini, Ivosights telah menggaet hampir 20 klien, sebuah pencapaian yang luar biasa untuk bisnis startup yang masih muda.
Bicara Soal Impact Bisnis dan Menemukan Partner yang Tepat
Rani Soebijantoro – Co-Founder Bookabuku
Semua bermula ketika Rani mengikuti Community Development, program pengabdian mahasiswa Prasmul kepada masyarakat, di Kecamatan Cibeber tahun 2015 silam. Bertugas sebagai pengajar SD, Rani terkejut ketika mengetahui bahwa para murid tidak memiliki buku cetak dan akses untuk membelinya. Karena itu, Rani tergerak untuk menyumbangkan buku berbahasa Inggris berikutnya ia berkunjung ke Cibeber.
Selang beberapa bulan, Rani diinformasikan bahwa buku-bukunya telah memberikan impact besar untuk para mantan muridnya. Semakin termotivasi untuk mengatasi problem distribusi buku, disertakan dengan passion ketiga Co-Founder (Rani, Givari Rizky, dan Thomas Djara) terhadap masalah pendidikan di Indonesia, tercetuslah ide Bookabuku, platform pinjam-meminjam buku secara online.
Kalau buku saya yang di rumah bisa diputar kepada yang membutuhkan dan bisa memberikan impact pada mereka, kenapa tidak dilakukan?
Berkembang di 9 provinsi dan 25 kota, kesuksesan Bookabuku lebih dari passion, tapi juga hubungan erat para pendiri. Berangkat dari mata kuliah Business Project di Prasmul, ketiga mahasiswa harus kebal menerima hantaman pedas FM dan menghadapi tekanan tinggi selama pembuatan bisnis startup yang inovatif ini. “Di masa-masa yang paling sulit, kami berhasil mencapai titik di mana kami saling memahami dan ingin terus melanjutkan tujuan utama untuk memajukan bangsa,” ungkap Rani pada Cerita Prasmul.
Bagi lulusan SMA Labschool Jakarta Timur ini, tak hanya hubungan profesional yang harus dijaga, tapi juga personal engagement. Walaupun dalam berbisnis, perdebatan panas sulit untuk dihindari, tidak menutup pintu untuk mereka kembali bercanda gurau saat masuk jam makan siang. “Kami seperti keluarga, kami sudah melihat baik-buruk satu sama lain,” tutur Rani. “Saya sangat bersyukur akan keberadaan mereka. Understanding is key.”
Bicara Soal Alih Profesi
Melissa Adisurya – Freelance Consultant
Menjadi lulusan Universitas Prasetiya Mulya bukan berarti para alumni diwajibkan untuk membangun bisnis. Bagi Melissa Adisurya, ia mengedepankan pengalaman di lapangan kerja nyata sebelum terjun ke dunia bisnis.
Selama hampir 4 tahun Melissa bekerja di PT Kino Indonesia. Bergelut di bidang finance, ia memanjat tangga kesuksesan dan diberikan kepercayaan yang tinggi untuk merepresentasikan perusahaan di Vietnam dan juga Filipina. Kecintaannya pada traveling dan pekerjaanya otomatis meletakkan Melissa di dalam comfort zone. Sayangnya, berada di “zona aman” juga menandakan bahwa tak ada lagi yang bisa dikembangkan. Melihat kurva pembelajaran yang senantiasa menurun, Melissa memutuskan untuk beralih profesi menjadi seorang Freelance Consultant untuk sebuah bisnis startup di Belgia.
Sebagai mahasiswa S1 Business yang fokus pada Finance, Melissa mengaku bahwa ada banyak ilmu dari Prasmul yang bantu mendongkrak perjalanan kariernya. Bukan hanya Accounting, Banking, dan Management yang terpakai, tapi juga soft-skill, seperti perannya sebagai team player. Walaupun begitu, Melissa tak menutup mata bahwa ilmu tidak akan ada habisnya. Maka dari itu, tantangan perbedaan kultur, bahasa, dan umur perusahaan bukan menjadi penghalang Melissa untuk beralih profesi.
Rid yourself of blocks, fears and insecurities. You might question yourself a lot during the process, but always believe in yourself.
Bukan asal ganti jalur, Melissa memastikan bahwa ia memiliki skill yang tepat untuk karier barunya. Proses ini panjang dan penuh pertanyaan, tapi perjalanan tersebut yang menjadi sebuah kepentingan baginya. “Don’t rush the process,” saran Melissa. “Hal ini membutuhkan pemikiran yang matang, pertimbangan tinggi, dan waktu agar kamu bisa mendapatkan transisi yang mulus.”
Bicara Soal Berkuliah Untuk Bisnis
Lisa Ayu – Co-founder Limakilo
Lisa Ayu merupakan mahasiswa Elektro yang kemudian mengambil gelar Magister Manajemen di Prasetiya Mulya. Siapa yang menyangka bahwa perpaduan tersebut akan melontarkan Lisa berkarier di bidang pertanian?
Limakilo merupakan sebuah bisnis startup yang bertujuan untuk memperpendek rantai distribusi pangan di Indonesia. Uniknya, dari ketiga Co-Founder, tak ada satu pun yang memiliki background pertanian. Selain Lisa, kedua partnernya merupakan ahli IT yang telah membuat produk dan berhasrat ingin meluncurkannya ke masyarakat. Walaupun ragu di awal, Lisa pun diyakinkan untuk bantu mengubah produk tersebut menjadi sebuah bisnis.
Sebenarnya, kami mampu membuat produk berteknologi tinggi. Tapi apakah masyarakat membutuhkannya? Tinggalkan ego itu untuk kemajuan bisnis.
Dengan latar belakang pendidikan yang beragam, pembangunan Limakilo harus cepat dan penuh adaptasi. Sebagai mahasiswa Prasmul, Lisa diajarkan untuk membuat business plan selama lima tahun kedepan. Sedangkan menurut para partner, ide tersebut tidak bisa diaplikasikan untuk bisnis startup. “Untuk startup, kita harus ubah plan setiap tiga bulan. Bila mentok, berarti saatnya untuk tutup plan dan menggantinya.” Lisa menjelaskan. Wanita yang sebelumnya bekerja di multinational coporate ini pun mensyukuri keberadaan NVI, jurusan baru di Prasmul yang lebih up-to-date dengan perbisnisan startup.
Mengembangkan Limakilo, Lisa dan kedua temannya sadar bahwa hal utama untuk menyukseskan startup mereka adalah untuk mengkolaborasikan ilmu-ilmu. Tidak tanpa hasil, jerih payah Limakilo dalam menyejahterahkan petani Indonesia telah terdengar sampai ke telinga Presiden Jokowi. Saat ini, Limakilo telah bekerja sama dengan sekitar 860 petani untuk menghubungkan hasil panen mereka ke kios Limakilo yang tersebar di Jabodetabek. (SDD/Editor: VIO)
Add comment