Kontribusi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak main-main. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya, sektor UMKM kerap kali menemui sejumlah kendala. Data yang dihimpun Katadata Insight Center di Jabodetabek pada Juni lalu mencatat ada 57% UMKM yang mengaku berada pada kondisi buruk.
Ronald Walla selaku Ketua Bidang UMKM/IKM Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyebut kondisi pandemi menambah tantangan yang dihadapi UMKM. Akibatnya, iklim UMKM menjadi kian pelik dan tidak sedikit yang menutup unit usahanya.
Semua itu ia sampaikan dalam Diskusi Publik “Bangun UMKM di Tengah Multikrisis” yang digelar Universitas Prasetiya Mulya dan IKAPRAMA bersama Katadata pada Kamis (15/10). Acara tersebut dibuka oleh Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki serta Rektor Universitas Prasetiya Mulya Prof. Djisman S. Simandjuntak.
Selain mengundang perwakilan dari Apindo, diskusi publik ini turut menghadirkan perspektif dari berbagai stakeholder lainnya, yakni William Tanuwijaya (Co-founder & CEO Tokopedia), Supari (Direktur Bisnis Mikro BRI), dan Prof. Agus Soehadi (Wakil Rektor I Universitas Prasetiya Mulya).
Ekosistem UMKM yang Subur
Prof. Agus Soehadi setuju bahwa tantangan yang dihadapi UMKM sangat kompleks. Namun, ia menyebut bahwa sejumlah tantangan itu dapat diatasi melalui pembangunan ekosistem yang subur. Ekosistem tersebut hanya dapat terwujud apabila terjalin sinergi dari setiap stakeholder, yakni perusahaan, pemerintah, komunitas/asosiasi, perbankan, dan universitas.
Jika merujuk pada hasil survei Global University Entrepreneurial Spirit Students 2019, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara yang mampu meningkatkan entrepreneurial mindset dan praktik bisnis mahasiswa melalui proses pembelajaran. Fenomena ini tentu akan memberi angin segar bagi pertumbuhan UMKM jika komponen lainnya dalam ekosistem ini turut berperan aktif.
“Dari data yang ada, 3,47% masyarakat Indonesia menjadi seorang entrepreneur. Kalau kita mengacu data sepuluh tahun ke belakang, mungkin angkanya baru di bawah satu persen,” sebut Prof. Agus.
Transformasi dan Digitalisasi
William Tanuwijaya mengatakan bahwa transformasi UMKM ke arah digital dapat menjadi solusi untuk menyiasati kondisi saat ini. Ia mencontohkan transformasi Tiongkok saat diserang virus SARS-CoV pada 2003 silam.
Pada masa itu, Tiongkok terpaksa lockdown. Akibatnya, segala transaksi jual-beli dilangsungkan secara digital. Beruntung, digitalisasi tersebut didukung penuh oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat demi menjaga agar perekonomian mereka tidak anjlok.
Menurut William, masa lalu tersebut menjadi pembelajaran bagi Tiongkok. Buktinya, sebelum COVID-19 melanda, transaksi e-commerce Tiongkok sudah mencapai di atas 35%. Angka ini yang tertinggi di seluruh dunia, lalu disusul Amerika Serikat dengan angka 15%. Sementara itu, Indonesia masih berada di angka 3%.
“Saya pikir momentum ini bisa kita manfaatkan juga. Jadi kita bisa melihat semua elemen masyarakat juga bertransformasi. Transformasi ini akan permanen dan akan menjadi sebuah kesempatan yang sangat luar biasa,” sebut William.
Peran Mitra Perbankan
Pak Supari menjelaskan bahwa “sentuhan” dari pihak perbankan dapat membuat UMKM tetap bertahan, bahkan skala usahanya mampu “naik kelas”. Menurutnya, sentuhan tersebut dapat berupa pendampingan, misalnya seperti literasi keuangan dan literasi digital.
Dalam konteks ini, ia menyebut bahwa pihaknya sudah memiliki skema pendampingan yang komprehensif serta peta UMKM nasional. Dari peta itu, BRI mampu menyiapkan standarisasi modul dan asesmen guna menjawab kebutuhan UMKM berdasarkan letak geografisnya.
“BRI itu ya UMKM. UMKM itu nyawa BRI. Karena UMKM adalah kontributor terbesar di negara ini. Jadi antara negara, BRI, UMKM, itu enggak bisa dipisahkan,” sebut Pak Supari.
Saling Bersinergi
Dalam sambutannya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan dua pendekatan untuk meningkatkan jumlah UMKM di Indonesia. Pendekatan pertama berupa literasi keuangan yang ditujukan bagi usaha ultramikro dan mikro. Sementara itu, pendekatan kedua berupa pengembangan inkubator-inkubator bisnis khusus bagi unit usaha yang skalanya berpotensi “naik kelas”.
Untuk mendukung upaya ini, Teten menyebut pihaknya akan bekerja sama dengan inkubator-inkubator bisnis yang dimiliki sejumlah universitas, termasuk Universitas Prasetiya Mulya. “Kami bekerja sama dengan Universitas Prasetiya Mulya untuk membuat desain-desain pengembangan startup di anak-anak muda yang pendidikannya relatif lebih baik dan saya kira punya potensi untuk dikembangkan ke sektor-sektor usaha yang lebih inovatif,” jelas Teten.
Pada kesempatan yang sama, Rektor Universitas Prasetiya Mulya Prof. Djisman S. Simandjuntak menyambut baik kolaborasi dengan berbagai sektor guna mengakselerasi pertumbuhan UMKM di Indonesia.
“Transformasi pendidikan tinggi menjadi arena formasi pengusaha, terutama pengusaha yang padat ilmu pengetahuan. Pembelajaran di Universitas Prasetiya Mulya pada dasarnya meletakkan mahasiswa sebagai pengusaha yang sedang belajar,” sebut Prof. Djisman.
Add comment