“The only limit is yourself. The only mountain is you. Please make sure you are moving forward, not moving in a circle.”
Setiap orang punya timeline hidupnya masing-masing. Tampaknya, milik Ayu Nirmala Putri Budisusetija bisa membuat banyak orang terinspirasi. Di usia yang terbilang muda, 29 tahun, ia sudah memangku jabatan sebagai National Air Logistics Systems & Process Manager di Kuehne+Nagel, sedangkan menurut Harvard Business Review, biasanya orang mencapai posisi manager di usia 40 tahun ke atas. Lalu, apa rahasianya dan hal apa saja yang ia pelajari?
Kombinasi Marketing dan Finance, Powerful!
“When you see things in a full perspective, dari sisi marketing dan finance, you will be able to make a better decision karena finance itu kan poinnya tentang risiko, kalau marketing lebih fleksibel.”
Ayu Nirmala Putri Budisusetija
Setelah berhasil menuntaskan masa studi S1 dengan gelar marketing, langkah berani diambil oleh Ayu untuk melanjutkan pendidikan di MM Prasetiya Mulya dengan konsentrasi finance. Alasan paling dasar adalah pandangan banyak orang tentang seorang lulusan marketing yang tak sesuai dengan ekspektasinya. “Apparently, what I see back then itu orang belum melihat digitalization as an important tools, itu yang bikin agak susah, people see me as a sales, tapi it’s different,” Ayu menjelaskan.
Wanita yang pernah membuka usaha kopi botolan ini sempat merasakan sulitnya mencari pekerjaan di bidang pemasaran. Hingga, ia memutuskan untuk mengambil studi di bidang finance, “I need to equip myself more, I’m not good with numbers but I wanna get out of my comfort zone. Di marketing, meskipun digitalisasi belum terlihat tapi ada budgeting dan planning to ensure bahwa investment yang dilakukan itu return. Ujung-ujungnya akan tektokan sama finance juga”.
Meskipun mengambil pilihan yang menantang, Ayu justru bersyukur dengan hal tersebut. Menurutnya, orang-orang berlatar belakang keuangan sangat terkenal kaku, tapi ia cukup fleksibel di timnya. Darisitu, wanita yang pernah tinggal di Surabaya ini bisa menjadi penengah antara keinginan marketing dan finance, “Enaknya disitu sih, people will see you as a full package karena you can relate, you can connect, kenapa sih finance bilangnya begini, kenapa sih marketing bilangnya begini, and then you can take in the middle.”
A Good Listener Has Better Understanding
Berbekal kedua gelar tadi, Ayu memantapkan diri untuk mencoba peruntungan sebagai seorang peneliti. Tak hanya itu, ia juga berharap pengalaman menyenangkan di MSBI (The Management Society Business Improvement), organisasi mahasiswa di MM Prasetiya Mulya cukup sebagai modal untuk menjadi researcher, “I was thinking, okay I already have both marketing and finance, so I think, kalau misalkan gue jadi consultant, gue akan memberikan suggestion or advice to my customers regarding their issues. Gue basically juga suka discuss karena we’re giving solutions lah based on the issues, I’m a more to listener than ngomong dulu baru kasih solusi.”
Menariknya, kemampuan sebagai pendengar yang baik ini juga menunjang karier Ayu. Hal ini selaras dengan hasil dari survei yang dilakukan oleh XIM University, bahwa menjadi pendengar yang baik adalah tools kepemimpinan yang efektif. Sebagai yang termuda di tim, ia harus mampu menjadi a good listener demi menciptakan komunikasi yang baik, “Senioritas pasti ada, tapi harus dipahami kalau kita bukan untuk judge tapi untuk support kinerja tim. Jadi, sembari mendekatkan diri dan mendengarkan mereka, as a friend, gue juga berusaha untuk membenarkan cara mereka berpikir.” Bukan hanya sekadar omongan belaka, Ayu pun sering mengadakan workshop dan training yang sifatnya dua arah agar ia tetap bisa mendengarkan opini tim dan tim pun bisa mendengarkan arahannya.
Merombak Sistem, Siapa Takut?
Setidaknya butuh waktu setahun untuk mengubah pola pikir keseluruhan tim, “Dari 2021, lebih fokus untuk memperbaiki mindset tim, because it’s not easy to make sure everyone is on board and have the same direction,” cerita Ayu. Menurutnya, ketika sudah punya semangat dan rasa kepemilikan, konsumen baru akan didapat dengan lebih mudah karena ia jadi lebih percaya diri dengan kemampuan masing-masing. Tips serupa pun pernah disampaikan oleh Sumarlan Wibawa.
Mantan barista Starbucks ini juga sempat mencicipi bidang operasional, setelah berpindah dari Controlling Executive. Ilmu dan pemahamannya yang sudah jauh lebih lengkap dan holistik tersebut juga ia tularkan kepada tim. Hanya satu tujuan, yaitu untuk memperkaya pengetahuan tim, yang menjadi modal tambahan ketika tim operasional berdiskusi dengan tim keuangan, “Daripada datang dengan pikiran kosong, lebih baik sudah punya mindset yang sama dengan finance, discussion-nya itu lebih next level, nggak cuma it’s a yes or no only, discussion-nya lebih broad lagi.”
Setelah diberi kepercayaan lebih, Ayu pun berinisiatif untuk membenahi sistem dengan mengajak anggotan untuk punya pola pikir yang serupa dengannya, serta mempunyai rasa kepemilikan. “Penting menerapkan framework PDCA (Plan, Do, Check, Act) supaya bisa sama-sama review KPI, I want the whole team untuk bisa diskusi root cause-nya ada dimana dan langkah apa yang akan diambil.”
Semua usaha ini ia lakukan agar timnya punya critical mindset. Tentu, kemampuan ini penting, dimana seluruh anggota tim harus bisa diandalkan, tidak bisa hanya bergantung dengan pemimpin atau manajer. “People also need to understand the reason why, having sense of belonging itu bagus, tapi knowing the reason why itu juga penting, selalu komunikasi needs-nya apa, concern-nya apa, terus solution-nya gimana, kita tentukan lewat brainstorm.”
Add comment