oleh Andreas Budihardjo
Faculty Member Universitas Prasetiya Mulya
Sumber gambar: https://yourstory.com/2020/12/
Dewasa ini, dunia mengalami perlambatan ekonomi, sedangkan pemulihan secara menyeluruh mulai menjadi harapan karena beberapa negara telah mulai menvaksin warganya. Banyak perusahaan besar tutup karena mengalami kerugian. Industri tertentu sangat terpukul, misalnya di sektor pariwisata, banyak biro perjalanan, hotel, dan hiburan yang mengalami kerugian. Namun, di tengah banyaknya perusahaan dunia yang terpuruk, bukan berarti peluang bisnis tidak ada. Fakta menunjukkan, ada pula perusahaan-perusahaan yang berhasil memanfaatkan peluang atau justru membuka peluang baru, seperti bisnis yang berkaitan dengan teknologi dan informasi serta teknologi dan telekomunikasi.
Perusahaan harus dikelola secara “berbeda” agar mampu bertahan selama pandemi, kemudian bersemi kembali saat pandemi mulai berakhir. Tidak mudah memang, khususnya untuk industri tertentu, sebab itu perusahaan perlu mengandalkan terobosan inovatif yang tepat.
Karyawan yang berkesehatan mental dan memiliki engagement yang baik merupakan salah satu modal penting. Pemimpin perusahaan yang dipercaya dan mampu melakukan transformasi melalui compassion power akan membuat perusahaan mampu bertahan. Ia seyogianya mencari terobosan atau inovasi yang tepat melalui kepemimpinan level 5 dengan pendekatan compassion.
Kesehatan fisik dan kesehatan mental adalah modal manusia yang sangat esensial sebab itu harus dikelola secara efektif. Masa pandemi senantiasa harus dihadapi dengan optimisme yang tinggi dengan mengandalkan kepemimpinan yang kuat berorientasi pada compassion serta menjaga kesehatan mental semua karyawan, termasuk dirinya, serta mendorong proses inovasi secara tepat dan cepat dengan menggunakan radar inovasi.
Kepemimpinan & Compassion
Dalam situasi pandemi, budaya kewirausahaan perlu ditanamkan pada karyawan agar mereka berhasrat untuk berinovasi secara tepat. Maxwell (2016) mengemukakan bahwa idealnya pemimpin perusahaan berada pada level 5 atau lazim dikenal sebagai pinnacle (puncak). Kepemimpinan ini menekankan pada karisma serta kemampuan melakukan envisioning secara efektif pada seluruh anak buahnya. Ia mampu mengelola manusia karena personal power yang luar biasa sehingga proses transformasi organisasi berjalan secara baik. Menurut Maxwell, pemimpin level 5 memiliki pengikut yang setia karena telah dibimbing dan dibentuk dalam waktu yang cukup lama. Pemimpin akan sangat bahagia jika pengikutnya bertumbuh dan berkembang.
Dengan mengandalkan soft power, yaitu pada compassion dan memfokuskan pada pendekatan manusia, para pengikut akan terdorong berinovasi. Worline & Dutton (2017) dalam buku Awakening Compassion at Work mengatakan bahwa peranan atau kekuatan compassion sangat besar dan signifikan dalam membawa keberhasilan perusahaan, khususnya pada masa yang relatif sulit ini.
Dalam bahasa Indonesia compassion diterjemahkan sebagai “belas kasih” atau welas asih (bahasa Jawa). Kunci utama terkait belas kasih antara lain: a) pekerjaan dan tantangan pekerjaan; khususnya dalam masa pandemi perusahaan tidak boleh membuat para karyawan menderita. Seorang pemimpin yang baik mampu mengelola stres berlebih dari anak buahnya sehingga mereka dapat bekerja dengan nyaman dan sukses; b) membantu para karyawan meningkatkan kinerja perusahaan dan menjadi sumber untuk berinovasi. Dengan mengacu pada belas kasih, seorang pemimpin perusahaan harus mampu mengajak karyawan untuk berinovasi. Belas kasih (compassion) sebagai acuan dalam mengelola sumber daya manusia akan meningkatkan kinerja dan mendorong inovasi. Seorang pemimpin besar akan memimpin dengan pendekatan belas kasih sehingga kesehatan mental karyawan senantiasa terjaga kendati dalam situasi sulit.
Kesehatan Mental
Dalam menghadapi pandemi, para pemimpin perlu selalu mengingatkan pentingnya menjaga kesehatan dan mengikuti protokol kesehatan (prokes) secara taat asas. Fakta menunjukkan bahwa korban pandemi masih terus bertambah dan tak sedikit dari mereka adalah para dokter dan staf medis. Selain kesehatan fisik, kesehatan mental (mental health) sangat penting, meski kurang mendapat perhatian secara proporsional. Kesehatan mental yang tidak prima bisa menyebabkan orang mengalami stres berlebihan dan berdampak pada perilaku counter productive, misalnya perbuatan melanggar prokes dan tidak menjalankan tugasnya secara optimal. Contoh lain, jika mengalami depresi dan putus asa, karyawan tidak termotivasi untuk berinovasi.
Kesehatan mental warga masyarakat dan karyawan sangat esensial. Greenwood dan Krol (2020) mengemukakan bahwa 42% responden pada penelitian mereka pernah mengalami penurunan kesehatan mental sejak permulaan terjadinya pandemi Covid-19. Mereka mengemukakan bahwa pemimpin, seyogianya, memberi pelatihan untuk meningkatkan kesehatan mental para karyawan atau setidaknya membentuk suatu kelompok untuk membantu mereka yang mengalami gangguan kesehatan mental. Sudah menjadi berita yang biasa di banyak negara, termasuk Indonesia, ribuan karyawan mengalami “gangguan kesehatan mental” karena pandemi ini. Penyebabnya antara lain karena kehilangan mata pencaharian, harus menyesuaikan dengan pola kerja baru, dan kesulitan mencapai sasaran kerja. Kerrissey & Edmonson (2020), secara umum, mengemukakan empat langkah penting untuk menghadapi krisis: bertindak sesuai dengan kemendesakannya, berkomunikasi secara transparan, merespons secara produktif untuk menghindari salah langkah, dan senantiasa melakukan updating informasi secara terus-menerus.
Pemimpin perusahaan perlu menyesuaikan berbagai kebijakan (policy) dan sasaran kinerja perusahaan dengan mempertimbangkan situasi, kondisi, dan peluang, antara lain waktu kerja fleksibel, kebijakan cuti, lembur, sasaran kerja serta penilaian kinerja karyawan. Seorang pemimpin perlu berempati pada para karyawan agar ia dapat mengambil suatu keputusan secara tepat. Pemimpin yang memiliki compassion yang tinggi akan membangun fondasi yang kuat, sehingga anak buahnya memiliki kesehatan mental yang baik, berkompeten, bermotivasi, memiliki nilai-nilai yang positif sehingga keterlibatan mereka tinggi dalam menjaga kelangsungan hidup organisasi. Mereka akan memandang bahwa pemimpin sebagai orang yang dipercaya dan dihormati sehingga arahan dan inspirasi darinya akan menjadi “pedoman” bagi mereka. Dalam situasi pandemi ini, pemimpin yang tidak mudah putus asa, memiliki kecerdasan spiritual dan emosional yang tinggi, serta mampu mengajak anak buah berinovasi dan mencari terobosan yang efektif sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, perusahaan yang sangat dipengaruhi oleh situasi pandemi ini harus melakukan terobosan-terobosan secara intensif dan efektif.
Terobosan Inovasi
Untuk menghadapi situasi pandemi dan ekonomi makro yang mengalami perlambatan, pemimpin perusahaan perlu mengelolanya secara tepat dengan mencari peluang dan berinovasi secara tepat sehingga menghasilkan keluaran yang sangat dibutuhkan. Fakta menunjukkan bahwa, selain proses berinovasi yang tidak selalu cepat, hasil inovasi pun tidak selalu menggembirakan. Sawhney, et. al (2006) memperkenalkan inovasi sadar sebagai pedoman bagi perusahaan. Dengan menggunakan tool ini, perusahaan diharapkan mampu melakukan terobosan berarti melalui inovasi. Kedua belas dimensi tersebut dikelompokkan menjadi empat kategori dan membentuk seperti “radar” yang merupakan jawaban atas empat pertanyaan berikut:
Apa?
Siapa?
Bagaimana?
Di mana?
Mengacu pada 12 dimensi tersebut, perusahaan diharapkan memperoleh inspirasi untuk melakukan terobosan inovatif melalui penciptaan produk, layanan atau sistem yang bernilai tambah sekaligus mampu menghasilkan keluaran inovatif yang bernilai dan relevan. Pemimpin perusahaan perlu membangun budaya pembelajaran, mendorong pengelolaan pengetahuan secara internal maupun eksternal, serta senantiasa menerapkan kepemimpinan yang bersifat transformasi dengan mengedepankan compassion dan ekstra peduli pada kesehatan mental karyawan.
Referensi
Budihardjo, A., 2020. Building Sustainable Organization. Jakarta: Prasetiya Mulya Publishing Covey, R.S., 2004. The 8th Habits from Effectiveness to Greatness. New York: Free Press.
Daft, R. L. 2016. Organization Theory and Design. USA: South-Western College, Publishing. Greenwood, K., & Krol, N. 2020. 8 Ways Managers Can Support Mental Health. HBR.August. Goleman, D., Boyatziz, R.E., & McKee, A. 2002. Primal Leadership: Realizing the Power of
Emotional Intelligence. Boston, MA: Harvard Business School Press.
Jasvidan, M., & Walker, J. 2012. A Whole New Global Mindset for Leadership. People & Strategy. Vol. 35 Issue 2.
Kerrissey, M.J., & Edmonson, A.C. 2020. What Good Leaderships Look Like During the Pandemic. HBR, April,
Lundberg, A. & Westerman, G. 2020. The Transformer CLO. Harvard Business Review.
January-February.
Maxwell, J. 2014. Developing the Leader within You. Nashville, Tennessee: Thomas Nelson, Inc.
Sawney, M., Wolcott, R.C., & Arroniz, I. 2006. The 12 Different Ways for Companies to Innovate, MIT Sloan Management Review.
Spacey, J. 2018. 18 Types of Human Capital. https://simplicable.com/new/human-capital. The World Bank with external contributions.2020. Global Economic Prospect. International Bank for
Reconstruction and Development / the World Bank, Washington.
Wigglesworth, C. 2012. SQ21: The 21 Skills of Spiritual Intelligence. New York: Select Books. Worline, C.M., & Dutton, J.E. 2017. The Quiet Power that Elevates People and Organization.
Oakland, CA. : Berret Koehler, Publisher, Inc.